REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sekaligus Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto, mengatakan Mahkamah Konstitusi (MK) masih berproses terkait gugatan terhadap sistem proporsional terbuka pada pemilihan umum (Pemilu). Bahkan, dia sudah mengonfirmasinya langsung ke MK.
"Sebagai Ketua Komisi III, saya langsung konfirmasi ke MK, 'Udah diambil keputusan belum ini?' 'Belum Pak' 'Yakin belum?' 'Belum' 'Yaudah. Jadi itu hoaks kan?' 'Hoaks'," ujar Bambang di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (31/5/2023).
Dia menghargai sikap delapan fraksi yang menolak sistem proporsional tertutup untuk Pemilu 2024. Namun, dia meminta, semua pihak untuk menunggu keputusan MK terkait gugatan tersebut.
"Jadi, kalau ada isu seperti ini kawan-kawan bersikap lagi. Lah wong sikapnya sudah disampaikan kok di dalam MK kok. Kenapa tidak ikuti prosedur itu aja," ujar Bambang.
Sebanyak delapan fraksi di DPR menolak sistem proporsional tertutup diterapkan dalam pemilihan umum (Pemilu). Hanya Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang masih menyuarakan dukungan terhadap sistem tersebut, meski akan patuh terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Kedelapan fraksi tersebut mengingatkan MK terhadap putusannya sendiri pada 2008. Saat itu, MK memutuskan untuk tak lagi digunakannya sistem proporsional tertutup pada pemilihan umum setelahnya.
Sistem proporsional terbuka sendiri merupakan putusan MK pada tanggal 23 Desember 2008 yang menyatakan bahwa Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan begitu, MK menyatakan bahwa sistem pemilu yang digunakan adalah sistem suara terbanyak.
Sementara itu pada 2022, pasal yang mengatur sistem proporsional terbuka kembali digugat ke MK. Sebanyak enam orang menjadi pemohon gugatan tersebut, yakni Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Cabang Probolinggo), Fahrurrozi (bacaleg 2024), Yuwono Pintadi Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jakarta Selatan), Riyanto (warga Pekalongan, Jawa Tengah), dan Nono Marijono (warga Depok, Jawa Barat).
"Karena sistem demokrasi maka kita harus pilih terbuka. Dulu MK sudah pernah mutus terbuka 2008, katanya kan putusan MK final dan mengikat, kalaupun ada orang uji, tidak lagi kan, udah lulus. Nah kalau dibuat tertutup ini salah," ujar Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR Saleh Partaonan Daulay di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (30/5/2023).