REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Bisnis penjualan pakaian bekas impor (thrifting) hingga saat ini, masih menjadi polemik. Pemerintah didorong untuk segera memberikan solusi konkret bagi pelaku thrifting agar mereka tetap bisa berusaha.
Ketua Umum Insan Kalangan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI) M Shobirin F Hamid mengatakan, dirinya tak membenarkan aktivitas thrifting. Namun, ucap dia, bagaimana pun banyak orang yang bergantung pada jual beli pakaian bekas impor.
Apalagi banyak orang yang bisa 'selamat' karena thrifting selama masa pandemi. IKATSI pun, kata dia, memberikan masukan agar secara legal tetap ditegakkan, namun di sisi lain para pedagang baju bekas ini diberdayakan mengingat situasi dan kondisinya sudah semakin membesar.
"Kementerian terkait dan Pemerintah daerah harus bersama-sama memikirkan hal tersebut dan duduk bersama dengan Para Asosiasi yang ada IKATSI, API dan utusan pedagang bekas tersebut," ujar Shobirin di Bandung, Ahad petang (4/6/2023).
Salah satu solusi yang ditawarkan, kata dia, adalah menjadikan Gedebage sebagai Sentra Perdagangan Tekstil sekaligus Destinasi Wisata Tekstil. Yakni, baik untuk masyarakat umum atau pelaku usaha konveksi dan lainnya dengan harga yang terjangkau dan kompetitif dengan mengedepankan unsur kekhasan tersendiri.
"Sehingga, tetap menjadi tujuan utama masyarakat berbelanja tekstil dan produk tekstil, dan aksesoris tekstil lainnya," katanya.
Shobirin melihat, aktivitas perdagangan barang bekas harus dilihat dari beberapa hal. Pertama, pasar loak atau jual beli barang bekas adalah legal. Aparat tidak boleh menindak atau merampas handphone, laptop atau barang elektreonik bekas yang diperjualbelikan. Sama halnya dengan jual beli pakaian bekas di Pasar Loak Gedebage.
"Kedua, ada ribuan masyarakat yang sejak lama terlibat dalam perniagaan ini yang didominasi oleh masyarakan kecil sehingga penanganan kasus ini harus bijak dan tidak mengedepankan sikap represif, intimidatif, dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya," katanya.
Ketiga, kata dia, aktivitas yang melanggar hukum adalah memasukkan barang bekas tersebut secara ilegal. Hal ini yang perlu ditindak dan diselidiki siapa saja pemainnya.
"Semua pihak yang berkepentingan harus duduk bersama memberikan solusi konkret bagi mereka. Kasihan, banyak Anak Bangsa yang bergantung pada bisnis itu," katanya.
Apalagi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor pakaian bekas di Indonesia mencapai 26,22 ton pada tahun 2022.
Menurut Shobirin, penurunan performa industri tekstil bukan hanya dipicu aktivitas thrifting. Salah satu yang perlu ditindak yakni impor barang bekas ilegal, disamping impor barang TPT yang sebetulnya tidak perlu di impor.
"Justru yang paling penting bagaimana memberantas impor tekstil ilegalnya dan penyalahgunaan impornya. Jadi (thrifting) ini ancamannya ada, tapi bukan jadi pemicu utama. Stigma kita semua industri tekstil jatuh karena thrifting. Padahal bukan, tapi ilegal tekstil impor dan penyalah gunaan impornya yang harus ditertibkan," paparnya.
Shobirin mencontohkan, dengan asumsi ada sekitar 2.000 pedagang pakaian bekas di Gedebage, Kota Bandung. Perputaran uang di Gedebage kira-kira Rp 120 miliar per bulan dengan asumsi kasar tiap pedagang meraup omzet sebesar Rp 2 juta per hari.
Nilai tersebut, relatif kecil. Sebab perputaran uang di Gedebage hanya setara omzet di dua pabrik ukuran menengah atau sedang.
"Jadi kita kemarin sempat ngobrol sama pedagang di Gedebage. Perkiraan Rp 120 miliar per bulan, itu kecil," katanya.
Karena, kata Shobirin, satu pabrik dengan kapasitas produksi dua juta meter dengan harga jual Rp 25.000 per meternya maka omzet pabrik tersebut per bulan adalah Rp 50 miliar berarti kurang lebih hanya setara dua pabrik saja.
"Dibandingkan dengan omzet pabrik tekstil dan garmen secara keseluruhan mungkin omzet perdagangan baju bekas di gedege tidak mencapai 2," paparnya.
IKATSI pun, mendukung itikad pemerintah dalam menekan dampak negatif dari thrifting seperti aspek kesehatan dan ekonomi dimana penjualan barang bekas tidak merangsang pertumbuhan ekonomi. Namun, ia tetap meminta pemerintah agar memberi regulasi dan solusi jangka panjang yang jelas terhadap pelaku bisnis barang bekas saat ini.
"Solusinya, Pemerintah harus bisa memproteksi market dalam negeri dan memberikan berbagai insentif yang berdampak dalam jangka pendek dan panjang untuk merangsang pertumbuhan perusahaan baru dan meningkatkan efisiensi serta daya saing industri lokal," katanya.