REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Negara Liberia didirikan di Afrika pada 1847 M sebagai surga bagi para budak yang dibebaskan. Para pendiri Liberia ingin menjadikannya sebagai negara yang demokratis serta dapat memilih presiden dan anggota parlemennya melalui pemilihan yang bebas dan adil.
Namun, fakta yang terjadi berbeda. Negara itu memasuki perjalanan sejarah karena melangsungkan pemilu yang teraneh dan tercurang yang pernah ada selama ini.
Pada 1816, hampir setengah abad sebelum Undang-Undang Pengakhiran Perbudakan Amerika Serikat pada 1865 secara resmi diproklamirkan, Pendeta Robert Fennel, yang merupakan politisi terkenal di negara bagian New Jersey, mengunjungi Washington DC.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan dukungan atas idenya untuk mendirikan koloni baru bagi budak yang dibebaskan, tetapi di Afrika.
Menurut situs web American Black Past, gagasan mendirikan koloni ini dimaksudkan untuk membatasi pertumbuhan demografis orang kulit hitam yang besar di Amerika Serikat dan Fennel melihat bahwa mereka dapat menimbulkan ancaman bagi kesejahteraan nasional pada masa depan.
Robert Fennel bertemu dengan beberapa politisi Amerika terkemuka dan mereka mendirikan American Colonization Society, yang mengadopsi ide-ide pendeta dan pada tahun-tahun awal pendiriannya melakukan pencarian untuk membeli tanah Afrika Barat dan mengamankannya untuk pendirian negara itu.
Pada 1821, tercapai kesepakatan dengan kepala beberapa suku setempat untuk mendirikan koloni Miserado dan pada tahun berikutnya (1922) mulai mengirim budak yang dibebaskan atau orang kulit hitam yang lahir bebas ke Miserado.
Awalnya dengan 30 keluarga, dan total ada 528 orang, dan kemudian memindahkan 12 ribu orang kulit hitam Amerika selama 20 tahun berikutnya. Pada 1847, koloni-koloni itu mendeklarasikan kemerdekaannya, dan namanya menjadi Liberia.
Mereka mulai menganeksasi lebih banyak tanah ke wilayah mereka, dan meskipun populasi yang berasal dari Amerika dan keturunannya hanya 5 persen dari total populasi negara itu, mereka mendominasi Liberia sejak kemerdekaannya dan selama lebih dari satu abad.
Baca juga: Masuk Islam, Zilla Fatu Putra Umaga Pegulat WWE Ini Beberkan Alasannya yang Mengejutkan
Penduduk asli di Liberia menderita ketidakadilan dan pajak besar dikenakan pada mereka, yang nilai finansialnya pada awal abad terakhir (1900) merupakan sepertiga dari kas negara, yang membuat mereka melakukan banyak pemberontakan yang dilakukan kelas penguasa dihadapi dengan keras dan ditekan dengan kekerasan.
Penduduk menjadi sasaran kerja keras, terutama di perusahaan multinasional yang aktif di negara itu dan hak pilih mereka ditolak sehingga ketika pemilihan umum dan presiden diadakan pada 1927, jumlah yang diizinkan untuk memilih hanya 15 ribu.
Dua kandidat bersaing untuk menjadi presiden pada saat itu, yang pertama adalah Presiden Liberia selama dua periode berturut-turut, Charles King, dan kandidat kedua adalah Thomas J Faulkner dari partai oposisi.