REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) bersama Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) mengapresiasi diskusi dengar pendapat yang diinisiasi Panitia Kerja (Panja) RUU Kesehatan Komisi IX DPR RI. Aktivitas ini merupakan bagian dari upaya penyusunan kebijakan yang baik secara transparan dan partisipatif sesuai peraturan dan perundangan di mana pemangku kepentingan terdampak dilibatkan dalam prosesnya.
Ketua (GAPRINDO) Benny Wachjudi menjelaskan pihaknya mengapresiasi upaya Komisi IX DPR RI dalam mendengarkan aspirasi dari pemangku kepentingan dalam Industri Hasil Tembakau (IHT) dalam proses legislasi pembentukan pasal tembakau di RUU Kesehatan. Dalam diskusi tersebut, GAPRINDO meminta agar aturan pertembakauan dalam RUU Kesehatan dapat ditinjau ulang agar tidak mendiskriminasi IHT.
“Kami menyampaikan langsung kepada Bapak Ketua Panja untuk berkenan mempertimbangkan sejumlah masukan industri terhadap beberapa pasal yang dinilai tidak memiliki landasan hukum yang kuat dan rawan konflik kepentingan. Hingga saat ini, belum ada alternatif industri yang dapat menyerap tenaga kerja sebesar ini,” ujar Benny kepada media di Jakarta.
Data Kementerian Perindustrian dan Kementerian Keuangan mencatat bahwa IHT merupakan sektor padat karya yang menyerap sekitar 6 juta pekerja dari mulai petani, karyawan pabrik, hingga pedagang kecil dan menengah serta menjadi salah satu kontributor utama dalam penerimaan keuangan negara melalui sektor cukai dan pajak.
Benny menambahkan tidak ada justifikasi hukum yang kuat pada RUU untuk mengkategorisasikan hasil tembakau, dalam hal ini rokok, dengan narkotika dan psikotropika. Lalu, di pasal tembakau tersebut, Kementerian Kesehatan akan memiliki kewenangan dalam mengatur standarisasi kemasan produk tembakau yang dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan antar kementerian dan disharmonisasi. Hal ini, karena pengaturan tentang jumlah isi dan kemasan sudah diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan dengan mengacu kepada Undang-Undang tentang Cukai.
Ia melanjutkan keberadaan pasal tembakau di RUU Kesehatan dikhawatirkan menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan visi pemerintah dalam melakukan harmonisasi peraturan melalui metode omnibus. Oleh karena itu, Benny meminta agar pengaturan terkait produk tembakau tidak turut dibahas dalam RUU Kesehatan yang bertujuan untuk melakukan reformasi kesehatan.
“Jangan sampai kebijakan ini dinyatakan cacat formil setelah disahkan karena dalam proses pembentukan tidak melibatkan partisipasi publik yang maksimal sebagai salah satu syarat pembentukan undang-undang yang baik. Kami harap pemerintah dapat menghadirkan kebijakan yang adil dan berimbang serta mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial terhadap seluruh rantai pasok IHT,” pintanya.
Ketua umum GAPPRI Henry Najoan juga meminta agar Panja RUU Kesehatan memperhatikan kondisi IHT rentan tertekan jika aturan ini disahkan. Ia menyatakan saat ini daya jual terus menurun karena daya beli yang melemah. “Situasi industri saat ini sedang terpuruk.”
GAPPRI juga telah melayangkan surat permohonan kepada Presiden Jokowi untuk meninjau ulang pasal tembakau di RUU Kesehatan yang akan dinilai dapat mematikan IHT.
Bersama seluruh ekosistem pertembakauan, saat ini GAPPRI dan GAPRINDO tengah menunggu hasil dari diskusi Panja bersama anggota DPR lainnya. Henry juga memastikan bahwa pihaknya akan mengawal proses pembentukan aturan ini agar adil dan transparan. “Harapan kami tidak ada lagi peraturan-peraturan baru yang akan membuat industri ini semakin sulit," katanya.