Oleh : Andri Saubani, redaktur Republika.
REPUBLIKA.CO.ID, Bakal calon presiden (capres) dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan Anies Baswedan hingga kini berada di posisi ketiga elektabilitas di bawah Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo merujuk pada beberapa hasil survei terbaru. Menurut survei Indikator Politik Indonesia, Anies bahkan mengalami tren penurunan elektabilitas, saat elektabilitas Prabowo dan Ganjar terus meningkat dan saling salip.
Menurut Indikator, penurunan elektabilitas Anies Baswedan disebabkan beberapa faktor, antara lain tingkat kepuasan terhadap kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan naiknya elektabilitas Prabowo Subianto yang sekarang menempati urutan teratas elektabilitas. Sebagai bakal capres dengan citra sebagai antitesis dari Jokowi, peningkatan approval rating Jokowi justru menjadi tekanan bagi elektabilitas Anies.
Anies sejatinya sama seperti Jokowi di saat menjadi capres pada 2014 silam. Saat itu, Jokowi adalah antitesis dari incumbent Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bedanya saat itu, Jokowi berhasil finis menjadi pemenang pilpres setelah sebelumnya mengalami peningkatan elektabilitas di saat approval rating SBY anjlok pada akhir masa kepemimpinannya.
Sebagai capres yang mengusung konsep antitesis dan harus melawan tingkat kepuasan kinerja Jokowi yang tinggi, hingga kini Anies praktis belum melemparkan narasi-narasi perubahan yang konkret secara lebih detail lagi. Koalisi Perubahan yang terdiri dari Nasdem, Demokrat, dan PKS, saat ini juga masih disibukkan oleh penggodokan siapa cawapres yang akan mendampingi Anies ketimbang menyosialisasikan narasi perubahan yang pastinya menjadi harapan kalangan yang menginginkan perubahan.
Peningkatan angka elektabilitas Prabowo juga diyakini menjadi faktor tertekannya elektabilitas Anies saat ini. Padahal hingga akhir 2022 lalu, elektabilitas keduanya saling salip di saat Ganjar Pranowo berada di atas. Kondisi saat ini menjadi bukti bahwa, Anies dan Prabowo berebut ceruk suara yang relatif sama, sementara pemilih Ganjar adalah pemilih solid.
Kerja mesin politik Gerindra yang gencar, membuat basis pemilih lama Prabowo yang sempat lari ke Anies kini berbalik lagi ke Prabowo. Sebagian lembaga survei mencontohkan, basis atau kantong suara Prabowo pada era pilpres sebelumnya yang sempat lari ke Anies dan kini kembali lagi ke Prabowo, yakni Jawa Barat dan Banten.
Menurut SMRC, elektabilitas antara Prabowo dan Ganjar saat ini tak berselisih jauh yakni 6,6 persen atau kurang dari dua kali margin of error sebesar 3,3 persen. Sementara, elektabilitas Anies saat ini yang berada pada angka 19 persen terpaut jauh dari elektabilitas Prabowo dan Ganjar.
Senada dengan Indikator, berdasarkan survei SMRC, dalam enam bulan terakhir, tingkat kedisukaan pemilih kepada Anies pun cenderung semakin lemah. Hal itu menjadi penyebab mengapa Prabowo dan Ganjar saat ini bersaing ketat dengan basis dukungan yang relatif seimbang.
Jamaknya dalam sistem pemilu langsung, angka elektabilitas para kandidat bersifat dinamis lantaran dipengaruhi banyak faktor. Seorang kandidat yang kerap berada di atas peringkat elektabilitas, bisa tiba-tiba anjlok oleh isu atau keputusan politik tertentu. Kondisi itu juga terjadi pada jalan politik elektoral menuju Pilpres 2024.
Ganjar Pranowo contohnya. Setelah sekian lama menikmati posisi puncak survei, elektabilitas Ganjar sempat merosot menyusul komentarnya yang menolak kehadiran timnas Israel di gelaran Piala Dunia U-20 2023. Seperti diketahui, Indonesia akhirnya batal menjadi tuan rumah, dan kekecewaan publik terekam dalam ragam survei yang dirilis pada April 2023, di mana elektabilitas Ganjar anjlok dan disalip oleh Prabowo.
Jajaran elite PDIP atau khususnya Megawati Soekarnoputri sepertinya sadar, gagalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 sejurus dengan kemerosotan elektabilitas Ganjar. Secara mendadak dan mengejutkan, Ganjar pun kemudian dideklarasikan oleh Megawati yang didampingi juga oleh Jokowi menjadi capres 2024 pada akhir April 2023.
Pendeklarasian Ganjar sebagai capres oleh PDIP kemudian terbukti mendongkrak kembali elektabilitas Ganjar atau setidaknya mencegah longsornya angka elektabilitas gubernur Jateng itu. Saat ini, berdasarkan survei-survei yang dirilis pekan lalu, angka elektabilitas Ganjar stabil bersaing dengan Prabowo meski belum kembali seperti tahun lalu saat Ganjar kerap mendominasi hasil survei.
Fenomena Ganjar di atas, sudah seharusnya dijadikan rujukan oleh Koalisi Perubahan dalam konteks tren penurunan elektabilitas Anies yang terjadi sekarang. Dalam politik elektoral, diyakini adanya teori element of surprise atau elemen kejutan yang bisa memengaruhi kemenangan suatu kandidat dalam kontestasi pemilihan langsung.
Tren penurunan elektabilitas Anies kemungkinan bisa dicegah dan dipantulkan kembali meroket lewat elemen kejutan itu. Pertama, Anies harus segera secara resmi dideklarasikan oleh Koalisi Perubahan. Kedua, Anies juga harus segera mengumumkan siapa cawapresnya, dan apabila tokoh yang dipilih itu merupakan kejutan, bukan tidak mungkin elektabilitas Anies bisa kembali bersaing secara ketat dengan Prabowo dan Ganjar.
Setelah Menko Polhukam Mahfud MD meminta secara terbuka kepada pihak terkait menjaga Anies agar tetap bisa nyapres tahun depan, masalah terbesar di Koalisi Perubahan sekarang sepertinya hanya tinggal dari internal koalisi itu sendiri. Anies masih bisa terjegal nyapres bukan dari pihak eksternal, melainkan Koalisi Perubahan yang belum ajeg dan kemudian malah bubar di tengah jalan.
Baik Nasdem, Demokrat, dan PKS, hingga kini diketahui masih belum satu suara soal siapa yang akan menjadi cawapres Anies. Ketiga partai itu masih 'memaksakan' ego masing-masing demi memaksimalkan coattail effect dari pencapresan Anies di pemilu tahun depan. Jalan tengah harus diambil oleh ketiga partai pengusung Anies dengan tidak memaksakan kader jagoannya masing-masing menjadi cawapres. Untuk semua langkah dan keputusan yang harus diambil Anies dan koalisi pengusungnya, ada satu kata kunci yang harus diyakini akan menentukan yakni: segera!