REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Setiap orang berhak untuk hidup bebas tanpa kebas dan kesemutan. Namun, 8 dari 10 orang menderita Neuropati Perifer (NP) tanpa terdiagnosis lebih awal, penyakit kronis kerusakan saraf tepi dengan gejala seperti kebas serta kesemutan di tangan dan kaki yang jika terlambat tertangani dapat menjadi permanen.
Dalam rangka memperingati Neuropathy Awareness Week 2023, P&G Health Indonesia melalui Neurobion, melanjutkan edukasi mengenai neuropati melalui kampanye “Hidup Bebas Tanpa Kebas dan Kesemutan” dan mengajak masyarakat untuk melakukan deteksi dini neuropati dengan neurometer. Ini merupakan aplikasi penilaian risiko neuropati pertama di Indonesia, sekaligus pemecahan Rekor MURI Deteksi Risiko Neuropati Terbanyak. Kegiatan ini didukung oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi).
“P&G Health Indonesia, melalui brand Neurobion, telah berkomitmen meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai neuropati perifer dan pentingnya menjaga kesehatan saraf lebih dari 1 dekade. Dengan melanjutkan kampanye “Hidup Bebas Tanpa Kebas dan Kesemutan”, kami berharap akan semakin banyak masyarakat yang teredukasi mengenai neuropati karena setiap orang berhak untuk hidup bebas tanpa kebas dan kesemutan,” ujar General Manager Personal Healthcare, P&G Health Indonesia, Maithreyi Jagannathan dalam siaran pers, Senin (12/6/2023).
Dengan aplikasi penilaian risiko neuropati pertama di Indonesia, Neurometer, lebih dari 9.000 orang telah melakukan deteksi dini dan diharapkan jumlah ini terus bertambah. Hal tersebut dibuktikan dengan pencapaian yang diumumkan oleh Museum Rekor Indonesia (Muri) untuk Deteksi Risiko Neuropati Terbanyak.
Project Manager Officer Kesehatan Masyarakat, Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI, Syahrul Effendi P. SKM.M.KKK, menyebutkan, kampanye edukasi masyarakat dan deteksi dini adalah cara yang paling efektif dan efisien untuk mengendalikan faktor risiko.
Terlebih saat ini Indonesia telah memasuki puncak bonus demografi. Berdasarkan data dari Dukcapil pada tahun 2022, Indonesia didominasi oleh masyarakat produktif yang berusia 15-64 tahun sebanyak 190,83 juta jiwa atau 69,3%3.
''Namun, tingginya usia produktif disertai gaya hidup dan aktivitas dengan gerakan berulang serta paparan bahan kimia akibat polutan ditempat kerja maupun di tempat umum dapat meningkatkan potensi neuropati yang apabila tidak ditangani sejak dini, akan menimbulkan masalah serius dan mengganggu produktivitas penderitanya,” ujar Syahrul.
Di sisi lain, Vice Secretary General Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi), dr.Winnugroho Wiratman.Sp.N(K),Ph.D, menjelaskan, setiap orang memiliki potensi risiko gejala neuropati. Gangguan tersebut dapat terjadi karena penyakit tertentu, kondisi fisik, usia lanjut, dan kurangnya asupan nutrisi seperti Vitamin B1, B6, B12.
Rasa kebas, kesemutan, rasa seperti tertusuk, dan sensasi panas atau terbakar di tangan dan kaki merupakan gejala umum dari neuropati yang dapat memengaruhi kualitas hidup seseorang. Kerusakan saraf dapat bersifat permanen jika lebih dari 50% serabut saraf telah rusak.
''Untuk itu, deteksi dan penanganan sedini mungkin sangat penting dilakukan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengonsumsi vitamin B neurotropik yang telah terbukti efektif memperbaiki pertumbuhan jaringan sel saraf. Oleh karenanya menjaga pola hidup sehat dan konsumsi kombinasi vitamin B neurotropik dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi kesehatan saraf,'' ujar Winnugroho.