REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak beberapa tahun silam, topik multiverse banyak dieksplorasi di sejumlah film dan serial pahlawan super. Konsep semesta majemuk itu terancam membuat penonton jengah dan cerita jadi menjemukan, sebab terkesan didalami secara berlebihan.
Di sisi lain, peluang munculnya berbagai kemungkinan cerita jadi terbuka lebar. Akan tetapi, rangkaian film yang mengusung konsep itu patut memberikan nilai lebih supaya multiverse tak mendominasi. Perlu faktor X lain supaya film tetap terasa istimewa.
Racikan formula demikian berhasil diterapkan di film The Flash yang bakal tayang di bioskop Indonesia mulai 14 Juni 2023. Meski membahas soal multiverse, film The Flash tidak terkesan sekadar mengekor topik yang sedang populer, tapi ia punya inti ceritanya sendiri.
Dari versi komik atau film animasi terdahulu, sudah ada kisah tersendiri yang membahas apa yang dialami tokoh Barry Allen/Flash (Ezra Miller) seperti di film The Flash, meski dengan plot berbeda. Dengan salah satu bentuk kekuatan supernya yang disebut Flashpoint, Barry bisa kembali ke masa lalu.
Tindakan Barry untuk mencegah kejadian tertentu di masa silam itulah yang memicu multiverse atau semesta majemuk jadi penuh tumpang-tindih. Takdir banyak orang ikut berubah, termasuk para pahlawan super yang tergabung dalam Justice League.
Dikutip dari catatan produksi film, sutradara Andy Muschietti mengungkap bahwa konsep multiverse yang dieksplorasi tetap disikapi dengan penuh kehati-hatian. Muschietti dan tim berusaha menyeimbangkan semua aspek cerita dengan kisah yang selama ini sudah ada.
Pada saat yang sama, sang sineas juga menciptakan ruang untuk improvisasi, humor, aksi, dan petualangan. Tentunya, mereka tetap fokus pada inti cerita yang diusung tentang sosok Flash.