Kamis 15 Jun 2023 04:40 WIB

Mencari Kampung Habib yang Hilang, dari Krukut, Kwitang, Sampai Tanah Abang

Krukut, Kwitang, dan Tanah Abang dahulu banyak dihuni warga keturunan Arab.

Rep: Kurusetra/ Red: Partner
.
Foto: network /Kurusetra
.

Alwi Shahab. Wartawan Republika, Alwi Shahab rahimahullah bercerita tentang perjalanannya mengantarkan Habib Ahmad dari Arab Saudi mencari kampung Arab di Jakarta. 
Alwi Shahab. Wartawan Republika, Alwi Shahab rahimahullah bercerita tentang perjalanannya mengantarkan Habib Ahmad dari Arab Saudi mencari kampung Arab di Jakarta.

CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.

KURUSETRA -- Salam Sedulur.. Menjelajahi Jl Gajah Mada dari arah Harmoni kita diminta untuk bersabar menghadapi macetnya lalu lintas ke arah Glodok. Berbelok ke kiri sebelum mencapai gedung Arsip Nasional yang dulu tempat tinggal gubernur jenderal de Klerk, yang dibangun pada abad ke-18, terdapat kampung Krukut.

Nama kampung tua yang berdiri tidak lama setelah kota Batavia itu kini diganti jadi Jl Kebahagiaan dan Jl Keutamaan. Memasuki Krukut kita akan mendapati masjid berusia ratusan tahun, yang kini sudah diperbaharui hingga tidak terlihat lagi keasliannya.

.

Habib Alwi Shahab rahimahullah pada medio 2006 pernah bercerita mengantarkan Habib Ahmad Somaid ke Krukut, tempatnya dilahirkan pada 1923. Perjalanan dari Kebagusan, Pasar Minggu, ke Krukut, yang berjarak sekitar 20 km, ditempuh dalam waktu empat jam akibat macetannya lalu lintas.

Habib Ahmad yang sudah menjadi warga negara Arab Saudi kesal dan lelah karena mobil harus berjalan merayap-rayap. ”Seperti perjalanan dari Arafah ke Mina saat ibadah haji," kata Habib Ahmad.

BACA JUGA: Cerita Ketua Umum Muhammadiyah Pimpin Yasinan Gara-Gara Dituding Wahabi

Karena sudah puluhan tahun tidak melihat tanah kelahirannya, Habib Ahmad menjadi kaget, karena suasananya sudah berubah. Dahulu, Krukut dan juga Pekojan, dihuni hampir seluruhnya oleh orang Arab.

Dulu di Krukut banyak kambing berkeliaran, karena keturunan Arab senang daging kambing. Sekarang, sebagian besar penduduknya keturunan Cina.

BACA JUGA: Selesai Naik Haji Makan Kambing Guling dengan Raja Arab Saudi

Habib Ahmad yang saat itu datang bersama istri dan cucu-cucunya yang tengah liburan, tidak menjumpai lagi rumah tempat dia dilahirkan di Krukut. ”Semua berubah. Saya sudah tidak mengenal lagi Krukut sekarang ini,” katanya menyerah setelah berputar-putar beberapa lama.

Bercerita tentang masa kecil, Habib Ahmad dari Krukut kemudian pindah ke Tanah Abang. Ia tinggal di Jl Karet (kini Jl KH Mas Mansyur), di depan kuburan Arab (dibongkar pada masa gubernur Ali Sadikin).

BACA JUGA: Humor Gus Dur: Kiai Bilang Semua Milik Allah, Santri Tanpa Izin Sembelih Kambing Kiai

”Dulu, pagi-pagi di depan rumah saya lewat tukang makanan, buah-buahan, dan tukang beras yang hendak mangkal di pasar Tanah Abang,” katanya. Dia juga tidak mengenali lagi bekas kediamannya. Di Tanah Abang, dia bersekolah di Jamiatul Kheir dan Al-Irfan, yang dipimpin Abdullah Salim Alatas, ayah mantan menteri luar negeri Ali Alatas.

Perjalanan mencari kampung Arab berlanjut ke Kwitang...


Alwi Shahab. Wartawan Republika, Alwi Shahab rahimahullah bercerita tentang perjalanannya mengantarkan Habib Ahmad dari Arab Saudi mencari kampung Arab di Jakarta. 
Alwi Shahab. Wartawan Republika, Alwi Shahab rahimahullah bercerita tentang perjalanannya mengantarkan Habib Ahmad dari Arab Saudi mencari kampung Arab di Jakarta.

BESAR DI KWITANG

Pada 1932 ketika usianya menginjak 9 tahun, Habib Ahmad pindah ke Kwitang, di Jalan Kembang Sepatu (kini Jl Kramat Kwitang I), Jakarta Pusat. Di Kwitang, kala itu tinggal tokoh Islam H Agus Salim (Syarikat Islam), Mr Mohamad Roem (Masyumi) dan Saerun (wartawan dan pemilik Harian Pemandangan). ”Saya berkawan baik dengan putera-puteri H Agus Salim,” kata Habib Ahmad.

Ayahnya, Habib Husain Somaid, merupakan salah seorang penasehat Habib Ali Alhabsyi, pemimpin Majelis Taklim Kwitang. Ayahnya adalah seorang hafidz (hafal Alquran). Suatu waktu di pengajian, saat ia membaca Alquran, tiba-tiba lampu padam. Namun ayahnya terus membaca hingga yang hadir jadi heran, karena ia membaca saat lampu padam.

”Waktu di Kwitang, saya naik trem listrik dari Gang Listrik (kini Jl Kramat III) ke pasar Tanah Abang. Kemudian ke Jamiatul Khair yang letaknya berdekatan. Kala itu, keturunan Arab diharuskan naik trem di kelas II dengan tarif 10 sen. Kelas III tarifnya lebih murah hanya untuk bumiputera, yang oleh Belanda disebut inlander. Ke Tanah Abang trem melewati Kalipasir, dan jembatan kali Ciliwung. Kala itu, lebar sungai yang membelah Kwitang – Kalipasir beberapa kali lipat dari sekarang. Demikian juga airnya jernih, hingga digunakan untuk mandi, mencuci dan wudhu," kata Habib Ahmad menceritakan.

.

BACA JUGA: Pelapor Pesulap Merah Ngaku Cicit Mbah Priok, Ini Penjelasan Habib Alwi Shabab Siapa Mbah Priok

Pada 16 Juni 1937, Habib Ahmad menghadiri Jambore Kepanduan di Belanda. Dia naik kapal Dempo milik Belanda, selama 28 hari baru sampai ke Rotterdam kemudian ikut jambore bersama 80 pandu dari Hindia Belanda. Terdiri dari Belanda totok/Indo 30 orang, Ambon 10 orang, Arab 7 orang, dan Bumiputera 30 orang.

Wakil pandu Arab memakai stambul warna merah dengan kuncir hitam kopiah sehari-hari orang Mesir. Karena memakai stambul, kita mendapat sambutan dan simpati dari wakil-wakil pandu negara Arab. Uniknya, pihak bumiputera menggunakan lurik dan blangkon. Dalam jambore hadir Lord Baden Powell, bapak pandu internasional.

BACA JUGA: Kata Siapa Muhammadiyah tidak Punya Habib, KH Ahmad Dahlan Itu Keturunan Rasulullah

Pulangnya, Habib Ahmad turun di Port Said, Mesir, dan tidak kembali ke Indonesia. Ketika itu soal visa tidak ada masalah seperti sekarang. Di Kairo ia bersekolah di King Fuad University (kini Cairo Univercity). Pada 1952, dia melanjutkan petualangannya ke Arab Saudi. Bekerja di perusahaan importir terbesar Saudi, Sharbath, sampai 1956. Pertengahan 1956, ibunya yang sudah lanjut memintanya agar segera kembali ke Indonesia. Sementara ayahnya meninggal dunia tahun 1951.

Setibanya di Indonesia, dia memilih jadi anggota PNI. Karena menguasai bahasa Inggris, Belanda, Prancis dan Arab, dia termasuk anggota teras partai yang didirikan Bung Karno ini. Kala itu ketua umum PNI Suwiryo. Ia juga bekerja di RRI siaran bahasa Arab untuk konsumsi Timur Tengah bersama ajengan KH Abdullah Bin Nuh. Di PNI dia kenal baik dengan Ruslan Abdulgani dan Hardi SH. Ketika terjadi perdebatan soal poligami, tokoh PNI Ny Supeni minta pendapat saya untuk dijadikan rujukan sebagai suara PNI. Saya katakan Islam tidak melarang poligami tapi kamu harus berlaku adil. Dan kamu tidak bisa berlaku adil.

BACA JUGA: Panas Dingin Hubungan Gus Dur-Habib Rizieq, Ejekan Buta Mata Buta Hati Dibalas Sebutan Teroris Lokal

Pada 1960-an ia kembali ke Arab Saudi sampai 1967. Kemudian bekerja di televisi Kuwait sampai 1973. Untuk kemudian kembali ke Saudi dan bekerja di National Commercial Bank selama 11 tahun dan pensiun 1987. Diapun jadi warga negara Saudi.

Sekalipun tidak menemui lagi kediamannya di Krukut, Tanah Abang, dan Kwitang, tapi kangennya terhadap tanah kelahiran terobati. Dia dapat merasakan kembali asinan, pete kecap, sambel terasi dan terutama durian. Baik saat sarapan, makan siang dan malam, durian tidak pernah ketinggalan. ”Saya juga kagum pada mojang-mojang Indonesia. Cantik dan lebih luwes dibanding gadis-gadis negara lain,” katanya.

BACA JUGA: Humor: Soekarno Otak Kanan Besar, Habibie Otak Kiri Besar, Gus Dur Sama Besar Tapi Suka Gak Nyambung

.

BACA JUGA ARTIKEL MENARIK LAINNYA:

> Humor Gus Dur: Nasabah Protes Kartu ATM-nya Macet, Ternyata karena Dilaminating Kayak KTP

> Humor NU: Orang Muhammadiyah Ikut Tahlilan Tapi Gak Bawa Pulang Berkat, Diledek Makan di Tempat Saja

> Humor Gus Dur: Anggota DPR Dipanggil Prof, Dikira Profesor Ternyata Provokator

> 3 Ulama Indonesia yang Jadi Imam di Masjidil Haram Mekkah

> Pendeta Saifudin Ibrahim Sebut Gus Dur tidak Pernah Sholat

> Berburu Janda Pejabat Belanda di Batavia, Orang Tionghoa Cari PSK di Mangga Besar

> Humor Cak Nun: Soal Rokok Muhammadiyah Terbelah Jadi Dua Mahzab

> Humor Gus Dur: Pendeta Baptis Mobil Kiai, Dibalas Kiai Sunat Motor Pendeta

> Asal Usul Nama-Nama Tempat di Jakarta: Dari Ancol Sampai Kampung Ambon

.

Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement