Jumat 16 Jun 2023 05:35 WIB

Hakim MK Ini Jadi Satu-Satunya yang Dukung Sistem Proporsional Terbuka Terbatas

Ada satu hakim MK menyatakan dissenting opinion di putusan gugatan UU Pemilu.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
Suasana sidang putusan terkait gugatan sistem pemilu di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (15/6/2023). Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi UU Pemilu. Sehingga Pemilu 2024 tetap diselenggarakan menggunakan sistem proporsional terbuka.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Suasana sidang putusan terkait gugatan sistem pemilu di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (15/6/2023). Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi UU Pemilu. Sehingga Pemilu 2024 tetap diselenggarakan menggunakan sistem proporsional terbuka.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK), pada Kamis (15/6/2023) memutuskan menolak gugatan soal sistem pemilu. Dengan dasar tersebut, Pemilu 2024 di Indonesia masih menggunakan sistem proporsional terbuka atau coblos calon legislatif.

Tercatat, ada dissenting opinion atau perbedaan pendapat yang disampaikan hakim MK yakni Arief Hidayat. Arief menawarkan opsi sistem proporsional terbuka terbatas agar diterapkan pada pemilu berikutnya. Sebab, kalau digunakan pada saat ini menurutnya masih belum memadai. 

Baca Juga

"Dalam rangka menjaga agar tahapan Pemilu tahun 2024 yang sudah dimulai tidak terganggu dan untuk menyiapkan instrumen serta perangkat regulasi yang memadai, maka pelaksanaan Pemilu dengan sistem proporsional terbuka terbatas dilaksanakan pada Pemilu tahun 2029," kata Arief dalam sidang pembacaan putusan perkara sistem Pemilu di Gedung MK pada Kamis, (15/6/2023).

Arief bersikukuh agar gugatan terkait sistem pemilu diterima sebagian. Ia memaparkan argumentasi pemohon sebenarnya pantas dikabulkan sebagian.

"Saya berpendapat bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian oleh karenanya harus dikabulkan sebagian," ujar Arief yang juga menjabat Ketua Umum DPP Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI) masa bhakti 2021-2026.

Diketahui, sidang perdana perkara dengan nomor 114/PUU-XX/2022 itu digelar pada Rabu (23/11/2022) dan sidang terakhir pada Selasa (23/5/2023). Tercatat, MK menggelar 16 kali sidang sejak pemeriksaan pendahuluan sampai ke tahap akhir. Adapun MK memutuskan menolak gugatan tersebut. 

Sepanjang sidang itu, MK menghadirkan berbagai pihak guna memberi keterangan yaitu DPR, Presiden, Pihak Terkait yang terdiri dari KPU, Fatturrahman dkk, Sarlotha Febiola dkk, Asnawi dkk, DPP Partai Garuda, Hermawi Taslim, Wibi Andrino, DPP PKS, DPP PSI, Anthony Winza Prabowo, August Hamonangan, Wiliam Aditya Sarana, Muhammad Sholeh, DPP PBB, Derek Loupatty, Perludem, Jansen Sitindaon. MK tak lupa menyimak keterangan para ahli yang diajukan Pemohon, Perludem, Derek Loupatty, Partai Garuda, dan Partai Nasdem.

Gugatan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diajukan oleh pengurus PDIP Demas Brian Wicaksono beserta lima koleganya. Mereka keberatan dengan pemilihan anggota legislatif dengan sistem proporsional terbuka pada pasal 168 ayat 2 UU Pemilu.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan eks Wamenkumham Denny Indrayana sempat menyatakan ada kemungkinan pelaksanaan Pemilu 2024 tertunda apabila MK memutuskan penggunaan sistem proporsional tertutup alias sistem coblos partai.

Gugatan ini mendapat sorotan publik karena Denny membocorkan putusannya akan berupa proporsional tertutup. Padahal tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan dengan menggunakan sistem proporsional terbuka.  Lewat putusan ini, MK sekaligus membantah bocoran putusan yang pernah dilontarkan Denny Indrayana tersebut. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement