Oleh : Erik Purnama Putra, Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sudah beberapa kali menggelar uji coba Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Uji coba berlangsung dengan mulus tanpa gangguan berarti. Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dan beberapa pejabat terkait juga sudah menjajal kenyamanan KCJB yang melaju super cepat. Bahkan, dalam uji coba KCJB bisa tembus dengan kecepatan 350 kilometer (km) per jam. Hebatnya, tidak ada guncangan sama sekali dalam uji coba tersebut.
KCJB bisa melaju mulus tanpa getaran. Beberapa video ditampilkan. Koin ketika diposisikan berdiri di meja, tidak bergerak sedikit pun ketika kereta melaju cepat. Begitulah keunggulan KCJB. Nantinya, penumpang dari Stasiun Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur menuju Stasiun Padalarang sepanjang 125 km bisa ditempuh dalam waktu 25 menit. Adapun menuju Stasiun Tegalluar hanya membutuhkan waktu 35 menit.
Dari hasil uji coba jelas menunjukkan hadirnya KCJB sangat menjanjikan. Hal itu lantaran penumpang yang mengejar waktu keberangkatan demi bisa cepat sampai Kota Bandung atau Jakarta, memiliki opsi naik KCJB. Apalagi, tiket hanya dibanderol sekitar Rp 250 ribu per penumpang. Sehingga sebenarnya tarifnya cukup terjangkau jika dihitung dengan waktu tempuh yang terbilang cepat.
Satu rangkaian KCJB dalam sekali berangkat bisa mengangkut 601 penumpang. Pemerintah sudah memproyeksikan ada 68 perjalanan per hari. Sehingga ditargetkan ada 40 ribuan penumpang yang naik kereta modern tersebut setiap harinya.
Hanya saja, jika merujuk kenyataan maka hal itu sebenarnya sulit terwujud. Apabila dibandingkan dengan Kereta Argo Parahyangan yang memiliki rute Stasiun Gambir-Stasiun Bandung maka jumlah penumpang maksimal 11 ribu per hari. Itu pun memerlukan perjalanan 10 kali ke Bandung dan Jakarta setiap harinya dengan tarif Rp 200 ribu kelas eksekutif, Rp 150 ribu kelas ekonomi premium, dan Rp 400 ribu dengan kereta panoramik. Adapun waktu perjalanannya sekitar dua jam 45 menit.
Bahkan pada pertengahan pekan, jumlah penumpang Kereta Argo Parahyangan bisa hanya 8.000 orang. Nah, kalau kereta biasa ini tetap beroperasi, dari mana KCJB bisa mendapatkan penumpang dengan jumlah besar dan tiket bisa lebih murah daripada kelas panoramik? Padahal, yang jarang diketahui masyarakat luas, operasional KCJB itu sangat besar. Bahkan, di belahan dunia, operasional kereta cepat lebih mahal dari pesawat.
Selama ini, pesawat saja tidak ada yang melayani rute komersial Jakarta-Bandung. Sempat ada layanan dari Lion Air Group, itu pun tidak bertahan lama. Apa masalahnya? Lagi-lagi karena rutenya tidak ekonomis. Tiketnya cukup mahal jika dibandingkan dengan moda transportasi darat. Nah, jika pesawat saja tidak tertarik membuka layanan Jakarta-Bandung, terus bagaimana KCIC menutupi operasional kereta cepat jika tiket hanya dijual Rp 250 ribu per penumpang?
Penulis memprediksi, pada awal-awal operaisonal, penumpang KCJB bisa saja penuh. Hal itu karena sangat banyak masyarakat yang penasaran ingin menjajal moda transportasi termodern yang ada di negeri ini. Kemudian, hari terus berganti, jumlah penumpang akan menurun dengan sendirinya. Kalau pun ada penumpang KCJB dapat dipastikan hal itu bakal menggerus jumlah penumpang Kereta Argo Parahyangan. Terjadi saling tikam antara dua moda transportasi kereta yang memiliki rute dengan satu tujuan, yaitu Stasiun Bandung.
Dari sini, nantinya masalah besar itu muncul. Karena pemerintah harus tetap mengoperasikan KCIC maka mau tidak mau harus mengorbankan layanan kereta biasa. Cepat atau lambat Kereta Argo Parahyangan bakal tersisihkan demi supaya KCJB bisa tetap beroperasi. Sayangnya, meskipun masa depan kereta favorit untuk perjalanan ke Bandung tersebut terancam, namun bukan berarti penumpang setianya pasti berpindah naik kereta cepat. Mungkin sekali dua kali untuk mendapatkan pengalaman, bisa saja terjadi. Tapi, untuk seterusnya, mereka bisa menggunakan opsi naik travel atau bus menyusuri Tol Cipularang untuk menuju ke Kota Kembang.
Dengan begitu, terus siapa penumpang KCJB? Tentu saja pemerintah harus memikirkannya. Apalagi, jumlah penglaju kereta selama ini tidak terlalu banyak. Penulis yakin, pemerintah pasti bakal mengorbankan Kereta Argo Parahyangan jika ingin operasi kereta cepat tetap ada penumpangnya. Apakah tidak semakin merugi nantinya?
Jika kereta cepat beroperasi dengan frekuensi puluhan kali sehari maka sangat mungkin ada jam-jam rangkaian kereta hanya diisi penumpang dengan hitungan jari. Apalagi, PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang masuk bagian konsorsium harus menanggung subsidi di dalamnya?
Sebenarnya masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang mundul di benak kepala. Namun satu yang pasti, cost pembangunan kereta cepat yang membengkak puluhan triliun dan waktu pembangunan yang molor bertahun-tahun akan membebani negara. Adapun ketika beroperasi, KCJB juga tetap membebani APBN. Jika sudah begitu, siapa sebenarnya yang diuntungkan proyek ini?