REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada awal perdagangan Selasa (4/7/2023) melemah namun berpotensi menguat usai data Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Amerika Serikat (AS) yang dirilis semalam turun ke level terendah sejak Mei 2020.
Mata uang Garuda pada Selasa pagi dibuka menurun 17 poin atau 0,11 persen ke posisi Rp 15.047 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp 15.030 per dolar AS.
"Rupiah masih berpotensi menguat lagi terhadap dolar AS, tapi mungkin tidak terlalu jauh," kata Analis PT Sinarmas Futures, Ariston Tjendra.
PMI manufaktur AS berada di 46 persen pada Juni 2023 atau 0,9 poin persentase lebih rendah dari 46,9 persen yang tercatat pada Mei 2023, menurut data yang dikeluarkan oleh Institute for Supply Management (ISM) pada Senin (3/7/2023). Mengenai ekonomi secara keseluruhan, angka ini menunjukkan kontraksi bulan ketujuh setelah periode ekspansi 30 bulan, kata ISM dalam laporannya.
Ariston menilai turunnya PMI manufaktur Negeri Paman Sam mendukung pelemahan dolar AS terhadap nilai tukar lainnya. Meski demikian di sisi lain, pelaku pasar terlihat masih membutuhkan tambahan data untuk mengkonfirmasi bahwa Bank Sentral AS akan melonggarkan kebijakan pengetatan moneternya. Saat berita ini ditulis, indeks dolar AS masih tercatat menguat tipis 0,04 persen ke posisi 103,03.
Kendati demikian, Ariston mengungkapkan sentimen pasar terlihat tidak positif pagi ini, dimana indeks saham Asia bergerak turun di pembukaan pasar. "Kondisi ini bisa menahan penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS," ujarnya.
Ariston pun memproyeksikan kurs rupiah sepanjang hari ini akan menguat ke arah kisaran Rp 15.000 per dolar AS, dengan potensi resisten di kisaran Rp 15.080 per dolar AS.
Pada Senin (4/7/2023) rupiah ditutup naik 35 poin atau 0,24 persen ke posisi Rp15.030 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp 15.065 per dolar AS.