Selasa 04 Jul 2023 11:09 WIB

Unjuk Rasa Anti Kekerasan Digelar di Prancis Setelah Kerusuhan dan Perusakan Mereda

Kerusuhan dipicu pembunuhan remaja keturunan Afrika Utara oleh polisi Prancis.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nidia Zuraya
Lebih dari 700 toko, supermarket, restoran, dan cabang bank telah dijarah akibat kerusuhan di Prancis
Foto: AP
Lebih dari 700 toko, supermarket, restoran, dan cabang bank telah dijarah akibat kerusuhan di Prancis

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Unjuk rasa warga digelar sebagai bentuk solidaritas terhadap pemerintah setempat, setelah aksi demonstrasi yang berujung kerusuhan atas kematian remaja berusia 17 tahun mereda di Prancis. Demonstrasi lain yang mendukung pemerintah itu digelar pada Senin (3/7/2023).

Dilansir Deutsch Welle (DW), sebelum aksi solidaritas ini, massa pengunjuk rasa yang mengecam pembunuhan seorang remaja oleh polisi di sebuah perhentian lalu lintas, berujung pada kekerasan. Kekerasan dan kerusuhan pun merebak ke berbagai kota karena lambannya pemerintah menangani persoalan itu, yang akhirnya merebak dengan isu rasial.

Baca Juga

Setelah kerusuhan mereda, para pengunjuk rasa yang mendukung solidaritas berkumpul di luar balai kota Prancis untuk mengutuk aksi kekerasan yang telah menyelimuti negara ini hampir sepanjang minggu lalu. Sementara kerusuhan telah mereda signifikan, setelah nenek dari remaja Nahel yang tewas, meminta massa yang rusuh dan melakukan kekerasa untuk berhenti.

Remaja tersebut, Nahel, 17 tahun, ditembak dan dibunuh oleh seorang petugas polisi dari jarak dekat di sebuah perhentian lalu lintas di pinggiran kota Paris barat, Nanterre, pada Selasa 27 Juni 2023 lalu. Korban merupakan keluarga imigran yang berasal dari Aljazair.

Kematian remaja tersebut memicu kerusuhan, bentrokan dan serangan pembakaran di beberapa daerah pinggiran Paris. Kerusuhan meluas ke seluruh negeri dengan protes dan kerusuhan di malam hari yang terus membesar karena isu rasial.

Mereka yang marah atas pembunuhan tersebut ingin menyoroti diskriminasi, dan seringkali kekerasan, yang dihadapi kaum minoritas di Prancis di tangan polisi.

Apa yang diinginkan oleh para demonstran anti-kekerasan?

Aksi unjuk rasa setelah kekerasan mereda disebut sebagai mobilisasi warga untuk kembali ke tatanan sebuah negara republik. Mereka melakukan aksi ini setelah terjadi serangan kerusuhan di rumah seorang wali kota pada akhir pekan lalu, ketika keluarganya sedang berada di dalam rumah.

Para perusuh menabrakkan sebuah mobil yang dipasangi sesuatu untuk membakar rumah Wali Kota l'Hay-les-Roses, Vincent Jeanbrun. Otoritas regional di beberapa daerah di seluruh negeri mengumumkan bantuan darurat senilai puluhan juta euro untuk memperbaiki bangunan publik dan usaha kecil yang terkena dampak kerusuhan.

Sekitar 34 bangunan, banyak yang terkait dengan pemerintah, dan hampir 300 kendaraan diserang dalam semalam antara hari Ahad dan Senin. Presiden Prancis Emmanuel Macron akan bertemu dengan para walikota yang mewakili 220 kota di seluruh negeri pada Selasa (4/6/2023).

"Kami ingin keadilan untuk Nahel dan seruan untuk mengakhiri kekerasan yang diungkapkan oleh nenek dan ibunya dihormati," kata Walikota Nanterre, Patrick Jarry. Dia berbicara dari luar balai kota Nanterre, kota tempat tinggal Nahel.

Kerusuhan tersebut telah menyebabkan operator transportasi umum Prancis mengalami kerugian sekitar 20 juta Euro (sekitar 21,8 juta dolar AS) dalam bentuk kerusakan kendaraan transportasi di wilayah Paris, kata operator tersebut.

Kerusakan tersebut termasuk bus yang terbakar, trem yang dibakar, dua trem yang rusak dan infrastruktur perkotaan yang hancur."

Dana untuk menyelidiki polisi yang membunuh remaja tersebut telah terkumpul sekitar 1 juta dolar AS. Jumlah tersebut lebih dari lima kali lipat lebih banyak dari yang dikumpulkan untuk santunan bagi keluarga korban.

Dana tersebut diinisiasi oleh jurubicara kelompok sayap kanan kelahiran Mesir, Jean Messiha, yang merupakan mantan penasihat pemimpin sayap kanan Marine Le Pen. Dia berpendapat bahwa petugas tersebut hanya melakukan pekerjaannya dan membayar harga yang mahal.

Nenek Nahel, yang telah meminta para perusuh untuk mengakhiri kekerasan, mengatakan bahwa ia 'patah hati' atas dukungan yang diterima oleh petugas polisi tersebut. "Dia telah merenggut nyawa cucu saya. Orang ini harus membayar, sama seperti semua orang," katanya kepada saluran TV BFM pada hari Ahad lalu.

Polisi berusia 38 tahun itu ditahan dan didakwa dengan tuduhan pembunuhan tidak disengaja. Sebuah video dari insiden yang menjadi viral itu menunjukkan petugas tersebut menghentikan mobil yang dikendarai Nahel tanpa SIM, dengan senjata terhunus. Dia menembak pemuda itu dari jarak dekat saat mobil itu melaju.

Selain pembunuhan, petugas tersebut juga didakwa membuat pernyataan palsu. Dia awalnya mengklaim bahwa dia melepaskan tembakan ketika Nahel melaju ke arahnya.

Pada Senin (3/7/2023), polisi mulai mewawancarai seorang saksi dalam kasus ini. Keterangan seorang penumpang yang berada di dalam mobil bersama Nahel pada saat kejadian, mengungkap keterangan palsu oknum polisi itu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement