REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Diterima di salah satu universitas negeri terbaik di Indonesia jelas menjadi suatu kebanggaan bagi Azizah (bukan nama sebenarnya). Calon Mahasiswa Baru (Camaba) Universitas Indonesia ini mengaku tidak menyangka dapat diterima di kampus bergengsi tersebut.
Namun disamping itu, dia mengungkapkan sedikit kekecewaannya pada kebijakan universitas yang dijuluki Kampus Perjuangan tersebut, terutama menyangkut penetapan uang kuliah tunggal (UKT). Sebagai anak pertama dari keluarga yang hanya bergantung pada penghasilan sang ayah, Rp 7 juta per bulan, Azizah mengaku cukup kaget dengan nominal yang ditetapkan UI untuknya.
"Dengan penghasilan ayah saya, saya mengira akan mendapat UKT maksimal Rp7.500.000. Namun kenyataannya saya malah mendapat Rp15.000.000," ujar Azizah saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (4/7/2023).
Tingginya nominal UKT yang dipatok, membuat Azizah terpaksa berdebat dengan pihak fakultas FISIP untuk mendapatkan keringanan dana. Setelah melalui proses yang cukup panjang, Azizah mengatakan hanya mendapat keringanan sekitar 17 persen, atau sebesar Rp 2.500.000.
"Setelah perdebatan panjang dengan pihak fakultas, saya mendapat keringanan sebesar Rp2.500.000 dan UKT saya menjadi Rp12.500.000. Tetapi tetap saja hal tersebut masih terlalu tinggi bagi kami sekeluarga dan berharap Universitas Indonesia dapat memberi transparansi mengenai hal tersebut," kata Azizah.
Sebagai calon mahasiswa jurusan Kesejahteraan Sosial yang masuk melalui jalur SNBP (Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi), nominal UKT yang ditetapkan UI untuk Azizah bisa jadi lebih rendah dibandingkan camaba dari jalur masuk lain seperti SIMAK, PPKB, maupun SNBT. Azizah juga mengaku terkejut dan menyayangkan kebijakan UI dalam menentukan besaran UKT tersebut.
"Diantara teman-teman saya, sama-sama peserta SNBP, ada beberapa yang juga menerima besaran UKT dari rentang Kelas 9 sampai Kelas 11 (Rp 10.000.000 - Rp 17.500.000). Kami terkejut dan menyayangkan kebijakan UI yang memberikan UKT sebesar itu," ungkapnya.
Menurutnya, UI terkesan hanya memandang pendapatan orang tua sebagai patokan mentah dalam menentukan nominal UKT, tanpa mempertimbangkan pengeluaran rutin yang harus ditanggung. Padahal, banyak pengeluaran yang harus dikeluarkan secara rutin dan bisa saja cukup menguras pemasukan yang ada.
"Yang pasti dari pengelihatan saya, UI terkesan hanya memandang pendapatan masuk orang tua dan tidak mempertimbangkan pengeluaran. Kalau misal pendapatan orang tua kita segini, ya nanti dapet UKT-nya segitu. Padahal masih banyak hal yang perlu didanai melalui pendapatan tersebut," keluhnya.
"UI juga bilang kalau mereka melihat dari gaya hidup, padahal kami sekeluarga tidak hidup bermewah-mewahan selama ini. Malah ada teman saya yang bisa dibilang hidup hidup mewah tapi mendapat besaran UKT lebih rendah dari saya. Jadi saya merasa kurang adil akan hal tersebut," kata Azizah.
Azizah berharap kedepannya UI dapat memberikan transparansi mengenai keputusan penetapan besaran UKT yang diterima oleh semua mahasiswa baru. Begitu juga perpanjangan waktu pembayaran bagi calon mahasiswa yang terkenda, sambungnya.
"Karena dari yang pernah saya baca bahwa UI tidak akan mengeluarkan mahasiswa karena terkendala biaya," kata Azizah.
"Harapannya sih UI dapat memberikan transparansi mengenai besaran UKT yang diterima oleh semua mahasiswa baru, dan setidaknya terus memberi keringanan berupa perpanjangan waktu pembayaran bagi mahasiswa yang masih terkendala," tambahnya.