REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD -- Terbaru, juru bicara pemerintah Taliban mengumumkan melarang salon kecantikan wanita di Afghanistan. Ini adalah pengekangan terbaru atas hak dan kebebasan perempuan di Afghanistan, menyusul dekrit larangan atas pendidikan, ruang publik, dan beberapa bentuk pekerjaan.
Seorang juru bicara Kementerian Kebajikan dan Wakil yang dikelola Taliban, Mohammad Sidik Akif Mahajar, tidak memberikan perincian larangan tersebut. Ia hanya membenarkan isi surat yang beredar di media sosial.
Surat yang dikeluarkan kementerian tertanggal 24 Juni 2023, mengatakan itu menyampaikan perintah lisan dari pemimpin tertinggi, Hibatullah Akhundzada. Larangan itu menargetkan ibu kota, Kabul, dan semua provinsi, dan memberikan pemberitahuan satu bulan kepada salon di seluruh negeri untuk menghentikan bisnis mereka.
Setelah periode itu, mereka harus menutup dan menyerahkan laporan tentang penutupan mereka. Surat itu tidak memberikan alasan pelarangan.
Rilisnya dilakukan beberapa hari setelah Akhundzada mengklaim pemerintahnya telah mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk perbaikan kehidupan perempuan di Afghanistan.
Seorang pemilik salon kecantikan mengatakan dia adalah satu-satunya pencari nafkah keluarganya setelah suaminya meninggal dalam bom mobil 2017. Dia tidak ingin disebutkan namanya atau menyebutkan salonnya karena takut akan pembalasan.
"Antara delapan hingga 12 wanita mengunjungi salon saya di Kabul setiap hari. Hari demi hari mereka (Taliban) memaksakan pembatasan pada perempuan, mengapa mereka hanya menargetkan wanita? Bukankah kami manusia? Bukankah kami punya hak untuk bekerja atau hidup?" katanya dilansir dari Arab News, Rabu (5/7/2023).
Terlepas dari janji awal pemerintahan yang lebih moderat daripada selama masa kekuasaan mereka sebelumnya pada 1990-an, Taliban telah memberlakukan tindakan keras sejak merebut Afghanistan pada Agustus 2021 ketika pasukan AS dan NATO menarik diri.
Mereka telah melarang perempuan dari ruang publik, seperti taman dan pusat kebugaran, dan menindak kebebasan media. Langkah-langkah tersebut telah memicu kegemparan internasional yang sengit, meningkatkan isolasi negara pada saat ekonominya runtuh dan telah memperburuk krisis kemanusiaan.