REPUBLIKA.CO.ID, YANGOON -- Mahkamah Agung Myanmar pada Rabu (5/7/2023), menyidangkan kasus terbaru dari serangkaian permohonan banding yang diajukan oleh mantan pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, atas sejumlah vonis yang dijatuhkan kepadanya. Sebuah sumber yang mengetahui kasus tersebut mengatakan, saat permohonan banding itu sebagai upaya Suu Kyi untuk mengurangi hukuman penjara selama 33 tahun.
Peraih Nobel Perdamaian berusia 78 tahun itu telah dihukum atas berbagai pelanggaran oleh pengadilan pemerintah Junta militer Myanmar. Tuduhan yang dialamatkan kepadanya ialah, mulai dari penghasutan dan kecurangan pemilu hingga korupsi. Kelompok Junta militer menangkapnya dalam kudeta pada Februari 2021 atas pemerintahan demokrasi yang Suu Kyi pimpin.
Perwakilan dari Suu Kyi, yang tidak hadir dalam sidang tersebut, mengajukan argumen di pengadilan pada Rabu. Bila dikabulkan, maka akan berkonsekuensi pemangkasan masa hukumannya. Suu Kyi dikaitkan atas pelanggaran undang-undang rahasia negara dan kecurangan dalam pemilu, kata sebuah sumber yang tidak ingin disebutkan namanya karena masalah ini sensitif.
Pengadilan Myanmar diperkirakan membutuhkan waktu hingga dua bulan untuk memberikan keputusannya. Juru bicara junta tidak dapat segera dihubungi untuk dimintai konfirmasi.
Kudeta tahun 2021 menjerumuskan Myanmar ke dalam kekacauan politik dan sosial, dan junta militer menuai kecaman global atas tindakan kerasnya terhadap para penentang seperti Suu Kyi.
Junta militer mengatakan para terdakwa diberikan proses hukum yang adil oleh peradilan yang independen. Mereka menangkis kritik dari kelompok-kelompok hak asasi manusia atas pemenjaraan para anggota gerakan pro-demokrasi, dalam pengadilan rahasia dan memulai kembali eksekusi setelah jeda beberapa dekade.
Mahkamah Agung diperkirakan akan mendengar banding Suu Kyi terhadap vonis bersalah atas penyalahgunaan dana negara dan pelanggaran undang-undang perdagangan dan telekomunikasi selama dua minggu ke depan.