REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBH AP) PP Muhammadiyah Ikhwan Fahrojih menanggapi tingginya kepercayaan publik terhadap Kejaksaan Agung (Kejagung). Dalam Indikator Politik Indonesia yang dirilis baru-baru ini disebutkan kepercayaan publik terhadap Kejagung mencapai 81,2 persen.
Ikhwan menilai meningkatkan kepercayaan publik terhadap Kejagung itu tidak terlepas dari apa yang ditangani Kejagung saat ini. “Menurut saya, peningkatan kepercayaan publik terhadap kejaksaan agung tidak lepas dari kenaikan jumlah kasus-kasus korupsi yang ditangani Kejagung secara signifikan,” ujar Ikhwan kepada Republika.co.id, Kamis (6/7/2023).
Berdasarkan data ICW dari total 597 kasus korupsi yang ada di sepanjang 2022. Lebih dari separuh atau 405 kasus di antaranya juga ditangani oleh Korps Adhyaksa. Menurut Ikhwan, hal tersebut tentu saja meningkatkan pemberitaan dan menciptakan persepsi di tengah masyarakat bahwa kejaksaan komit terhadap pemberantasan korupsi sehingga mengundang kepercayaan publik yang tinggi.
“Peningkatan kepercayaan publik terhadap Kejagung, seharusnya memberi semangat dan mendorong peningkatan kinerja Kejagung dalam pemberantasan korupsi bukan hanya secara kuantitas namun juga secara kualitas,” ucap Ikhwan.
Namun, menurut dia, kepercayaan publik yang tinggi tersebut juga harus dibarengi dengan kontrol publik yang kuat dan transparansi dalam penegakan hukum untuk mengurangi potensi penyalahgunaan wewenang, berlindung di balik kepercayaan publik tersebut.
“Karena pemberantasan korupsi bukan bertujuan untuk pemberantasan korupsi itu sendiri, tapi bertujuan menciptakan detterent effect (efek jera) bagi para penyelenggara negara supaya tidak melakukan hal yang sama (korupsi),” kata Ikhwan.
Maka, tolak ukur keberhasilan pemberantasan korupsi, terletak pada tidak terulangnya modus korupsi yang sama termasuk di tempat-tempat yang lain. “Sehingga dengan pemberantasan korupsi yang semakin meningkat, sejalan juga dengan perbaikan sistem yang meningkat, maka tingkat korupsi juga semakin berkurang secara signifikan,” jelas dia.
Masalahnya, akar korupsi di Indonesia bukan hanya soal mens rea (kemauan) personal, tapi berakar pada sistem penyelenggaraan negara yang korup secara sistemik. Maka, menurut dia, pendekatan pemberantasan korupsi harus diarahkan pada perbaikan sistem di mana korupsi tersebut terjadi.
“Meskipun Kejagung tidak berwenang di bidang pencegahan, namun hasil penyidikanya dapat menjadi bahan bagi birokrasi untuk melakukan perbaikan sistem, tujuanya supaya modos korupsi yang sama tidak terulang lagi, dan semakin lama tingkat korupsi benar benar dapat diturunkan,” kata Ikhwan.