Sabtu 08 Jul 2023 13:59 WIB

Tak Cuma Syahadat, 4 Rukun Islam Juga Diselewengkan? Ini Kata Eks Pengikut Panji Gumilang

Rukun Islam dimaknai dan dipraktikkan berbeda oleh Panji Gumilang

Rep: Muhyiddin / Red: Nashih Nashrullah
Eks NII Sukanto menjelaskan rukun Islam dimaknai dan dipraktikkan berbeda oleh Panji Gumilang
Foto: Dok Istimewa
Eks NII Sukanto menjelaskan rukun Islam dimaknai dan dipraktikkan berbeda oleh Panji Gumilang

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Peneliti Ma’had Al Zaytun Indramayu Jawa Barat yang juga mantan aktivis Negar Islam Indonesia (NII), Sukanto membeberkan pemahaman dan praktik rukun Islam yang berbeda di kalangan NII. 

Menurut Sukanto, di NII itu ada dua sholat, yaitu sholat lima waktu dan sholat aqimuddin. Ketika jamaah NII sedangkan melaksanakan sholat aqimuddin, kata dia, maka diperbolehkan untuk meninggalkan sholat lima waktu.

Baca Juga

“Jadi sholatnya dibagi dua, ada sholat ritual yang lima waktu, ada sholat aqimuddin dalam rangka menegakkan negara. Sholat lima waktu itu bisa ditinggalkan ketika sholat aqimuddin dilakukan,” kata Sukanto.

Dia menuturkan, salah satu contoh sholat aqimuddin adalah menjalankan program negara, seperti perekrutan jamaah dan pendanaan.  

“Jadi setiap jamaah dalam proses mencari dana atau dalam proses mencari jamaah baru, sholat lima itu itu boleh ditinggalkan,” ucap Sukanto.

“Karena seyogianya yang dia lakukan dalam konteks berprogram di NII tadi, yakni membaiat orang, itulah sholat aqimuddin. Itulah mengapa di NII jadi tidak sholat. Karena yang mereka lakukan dalam rangka bernegara, itu lah sholat sebenarnya,” jelas dia.

Dia mengatakan, Pimpinan Ma’had Al Zaytun, Panji Gumilang sendiri juga pernah memecat seorang guru lantaran melakukan sholat pada saat sedang rapat. Karena itu, tak heran jika Al Zaytun selalu dikaitkan dengan NII.

“Di Al Zaytun, Panji Gumilang pernah memecat guru karena sholat, karena dia sedang rapat sama Panji Gumilang. Jadi setelah istirahat dia sholat. Setelah balik lagi masuk forum rapat, dipecat langsung. Orang kita lagi sholat kok kamu sholat lagi (kata Panji). Itu pengakuan dari guru yang saya dengar,” ujar Sukanto.

Sedangkan saat bergabung dengan NII, Sukanto menyaksikan sendiri bahwa warga NII memang tidak melaksanakan sholat.  

Hal ini karena, mereka menganggap dirinya sedang menjalankan tugas negara. Kedua, mereka juga berkeyakinan bahwa kondisi Makkah belum mewajibkan umat untuk sholat.

“Republik Indonesia adalah  Makkahnya, maka kondisi di Makkah itu belum wajib sholat. Jadi gerakan NIII itu karena doktrinnya  sedang perang, dan kondisinya kondisi Makkiyah, jadi belum wajib sholat. Kalau ada shoalt ritual ya itu pura-pura saja,” kata Sukanto.

Lalu, dalam memahami rukun Islam yang ketiga, yakni puasa, warga NII tetap menahan diri selama bulan Ramadhan. 

Namun, menurut Sukanto, waktu awal puasa Ramadhannya harus berbeda dengan Republik Indonesia. Begitu juga waktu berbuka dan sahurnya.

“Misalnya, jika pemerintah tanggal 29 Ramadhannya, dia duluan. Kedua, dalam waktu sahurnya juga tergantung perintah komandannya. Kalau misalnya cape, rapat sampai sampai pukul 6 pagi, ya sahur pukul 6 pagi. Lalu rapat pukul 5 sore. Meskipun belum masuk Maghrib tapi pimpinan menyuruh buka, ya buka,” jelas Sukanto.

Kemudian, terkait dengan zakat yang merupakan rukun Islam yang keempat, di NII tidak terdapat zakat fitrah. Sukanto mengatakan, zakat fitrah itu ditejemahkan dalam bentuk Harakah Ramadhan. Pada 1991, besarnya sekitar Rp 50 ribu per kepala.

Baca juga: Eks NII: Kader Setor Dana Miliaran ke Al Zaytun 

“Jadi mereka menafsirkan harakah Ramadhan atau fitrah itu adalah bukan dengan beras, tapi sunnahnya itu dengan kurma. Diukurnya itu dengan satu gantang kurma (sama dengan satu sha'). Ketika undang-undang NII-nya itu dikeluarkan Panji gumilang pada 1991, itu nilainya sebesar Rp 50 ribu,” ujar Sukanto.  

Dia mengatakan, dalam program NII zakat itu juga diartikan sebagai bentuk pengorbanan maliyah (keuangan). “Dalam pengorbanan maliyah dalam NII itu ada delapan yang harus dipenuhi, ada infak, harakah ramadhan, harakahn kurban, dan lain-lain,” ucap dia.

Sementara, dalam memahami rukun Islam yang kelima, NII memusatkan pelaksanaan hajinya di Ma’had Al Zaytun Indramayu. Berdasarkan pemahaman NII, ibadah haji tidak perlu ke Makkah, cukup datang ke Al Zaytun setiap 1 Muharram.

Pada 1 Muharram tersebut itu para pejabat dan koordinator wilayah atau korwil akan berkumpul dan melakukan ritual haji. 

“Haji itu kan ada pertemuan seperti wukuf, nah itu diartikan sebagai pertemuan para pimpinan-pimpinan NII pada 1 Muharram. Itulah yang dianggap haji,” kata Sukanto.

Dia menambahkan, dari dulu orang NII itu memang tidak pernah ada yang ke Makkah. Di dalam pertemuan para pemimpin NII itu, mereka membicarakan masalah-masalah keumatan. Dalam itu pula mereka mengundang para pejabat.

Baca juga: Panji Gumilang Sebut Rasulullah Berkata dalam Alquran, Ini Sikap Ulama

“Jadi dipahami bahwa haji itu pertemuan pimpinan-pimnan, membicarakan masalah-masalah umat. Cuma itu dijadikan ritualitas juga dengan memanggil para pejabat, pembicara dari luar, sehinga seakan-akan ini umum, lalu diakhiri dengan infak sedekah,” jelas Sukanto.

“Tapi ketika infak sedekah ini diblow up media, pada 2008-2009 sekarang sudah tidak ada. Jadi semuanya kamuflase lah, kalau sudah ketahuan kemudian ditutup, begitu kira-kira,” ujarnya.  

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement