KAKI BUKIT – Stasiun televisi Inggris BBC beberapa tahun lalu dalam sebuah program olahraga menyajikan wawancara dengan mantan kapten timnas Inggris, Sol Campbell. Acara itu menayangkan video dokumenter yang menunjukkan suporter memberi salam Nazi dan melemparkan ejekan kepada pemain kulit hitam.
Video tersebut menjadi satu bukti betapa rasisme merasuk di sepak bola Eropa, menyebar dari luar stadion sampai ke dalam stadion. Mengutip FIFA disciplinary code, rasisme didefinisikan sebagai perilaku yang “menyinggung martabat sekelompok orang.” Di negara-negara Eropa dengan kompetisinya yang maju, rasisme secara konsisten menjadi masalah dalam sepak bola.
Perbuatan rasisme dalam sepak bola di Eropa sudah ada sejak lama. Rasisme di Eropa banyak ditujukan kepada pemain berasal dari benua Afrika atau berdarah Afrika. Contoh lain dari rasisme terjadi tahun 2001 fans dari tim sepakbola Italia Treviso mencat wajah mereka berwarna hitam untuk memprotes pembelian pemain kulit hitam untuk kontrak profesional.
Tahun 2002, fans dari tim nasional Slovakia mengarahkan suara menyerupai monyet kepada pemain kulit hitam yang bermain untuk tim nasional Inggris. Pada tahun 2004, pada pertandingan sepakbola di Madrid antara tim nasional (timnas) Inggris dan Spanyol, mayoritas pendukung Spanyol yang datang mulai berteriak, “melompatlah jika kau tidak hitam,” yang jelas ditujukan kepada pemain berkulit hitam dalam timnas Inggris, sedangkan timnas Spanyol tidak memiliki pemain berdarah Afrika.
Walau rasisme pada sepak bola kerap terjadi, sempat ada catatan baik pada perhelatan Piala Dunia 2018 yang berlangsung di Rusia. Selama perhelatan berlangsung pada 14 Juni – 15 Juli 2018 tidak ada satu laporan pun terkait rasisme atau terjadi kerusuhan antar suporter.
Pada Piala Dunia 2018 ada lima tim nasional perwakilan Afrika dan empat timnas dari negara Asia yang berpartisipasi ditambah timnas dari Amerika Latin. Pada banyak perilaku rasisme kerap ditujukan pada tim atau pemain dari non Eropa.
Padahal sebelum Piala Dunia 2018 berlangsung, pada pertandingan Liga Europa yang berlangsung April 2018 di Moskow, fans CSKA Moscow menyanyikan lagu berbau rasis kepada para pemain Arsenal yang berkulit hitam. FIFA pun langsung bertindak, Rusia pun diganjar hukuman satu bulan jelang Piala Dunia berlangsung.
FARE (Football Against Racism In Europe) organisasi yang memonitor kelakuan diskriminasi pada sepak bola Eropa memberikan catatannya bahwa selama Piala Dunia berlangsung tidak ada satu pun laporan negatif. Pada Piala Dunia 2018 tidak ada kasus rasisme dan juga hooliganisme.
FARE sebagai organisasi yang mengkhususkan kinerjanya kepada masalah rasisme dalam sepak bola Eropa menjalin kerjasama dengan organisasi sepak bola tertinggi Eropa yaitu The Union of European Football Associations atau UEFA dalam menghilangkan rasisme dari sepak bola Eropa.
FARE terpilih menjadi organisasi yang merupakan perwakilan UEFA yang resmi dalam mengatasi kasus-kasus rasisme dalam sepakbola Eropa. FARE bekerja sama dengan organisasi anti rasis lainnya. FARE sudah melakukan kerjasama dengan UEFA sejak tahun 2000, dimana setiap liga-liga kejuaraan atau pertandingan sepak bola yang berada resmi dibawah UEFA sudah diawasi FARE untuk mencegah aksi aksi rasisme.
FARE terus mendorong upaya-upaya anti rasis dalam sepak bola Eropa. Menghapus rasisme adalah usaha yang tidak terpisahkan dari setiap program memajukan sepakbola nasional masing-masing negara.
FARE juga terus melakukan kampanye dan pendidikan tentang rasisme untuk menghapus perilaku yang bertentangan dengan HAM tersebut dari sepak bola.
Rasisme memang perilaku yang harus dikikis dari dunia sepak bola. Spanyol dan Brasil punya cara untuk memerangi rasisme dengan slogan “Satu Kulit.” Federasi sepak bola Spanyol RFEF dan Federasi sepak bola Brazil CBF sepakat untuk menggelar laga persahabatan antara kedua tim nasional bertajuk Anti-Rasisme. Pertandingan persahabatan akan berlangsung di Santiago Bernabeu pada Maret 2024.
Pertandingan yang bertujuan untuk memerangi rasisme tersebut direncanakan, setelah terjadi kemarahan global akibat pelecehan terhadap pemain Real Madrid, Vinicius Junior. Pemain sayap Brasil tersebut mengalami pelecehan rasial oleh para pendukung Valencia pada Mei 2023.
Presiden RFAF Luis Rubiales menyatakan pentingnya hukuman yang lebih berat perlu diterapkan dalam kasus rasisme oleh otoritas sepak bola. Dan menurut Ednaldo Rodrigues Presiden CBF, federasi sepak bola yang dipimpinnya adalah federasi pertama yang menerapkan sanksi lebih keras untuk kasus-kasus rasisme, seperti pengurangan poin di klasemen liga, penutupan tribun atau pengusiran seumur hidup terhadap anggota klub.
“Kita harus memimpin kampanye di seluruh dunia untuk melawan virus yang membuat malu semua orang di sepak bola ini. Denda saja tidak cukup. Klub-klub juga harus bertanggung jawab. Tidak ada tempat bagi penghinaan rasis dalam sepak bola kita,” kata Rodrigues.
Rasisme atau diskriminasi yang mengurat mengakar pada sepak bola di Eropa tidak hanya terbatas pada hal warna kulit, melainkan seringkali ialah menyangkut budaya. Kasus rasis dan diskriminasi dalam sepak bola sudah menjadi persoalan klasik internasional.
FIFA telah mengatur mengatur pelanggaran rasis dalam statuta untuk dihukum. UEFA pada 2013 juga menerbikan disciplinary regulations (DR) yang mengatur pelanggaran rasis pada pasal 14 yang menyatakan bahwa : Setiap orang di bawah lingkup Pasal 3 yang menghina martabat manusia seseorang atau sekelompok orang dengan cara apapun, termasuk atas dasar warna kulit, ras, agama atau asal-usul etnis, akan mendapatkan suspensi yang berlangsung setidaknya sepuluh pertandingan atau periode waktu tertentu, atau sanksi lain yang sesuai.
Ada beberapa contoh kasus rasisme pada sepak bola Eropa berikut hukumannya. Salah satunya, UEFA menginvestigasi dan mengambil tindakan pada kasus rasisme yang ditujukan pada pemain Barcelona Dani Alves saat menghadapi Villareal tahun 2014 pada kasus pelemparan pisang oleh suporter tuan rumah Villareal saat pemain asal Brazil tersebut akan melakukan sepak pojok.
Klub Villareal memberi hukuman dengan melarang suporter pelaku pelemparan pisang mendatangi ke markas villareal yang bernama El Madrigal selama lamanya. Pelaku juga dipecat dari pekerjaan sebagai pelatih salah satu sepak bola klub usia muda di Spanyol.
UEFA tidak hanya memberikan sanksi atau hukuman yang terkait dengan tim utama atau senior. Seperti yang terjadi pada klub Atlético de Madrid Youth dikenai sanksi dengan penutupan sebagian stadion pada pertandingan kandang UEFA Youth League berikutnya dan didenda € 10.000 karena perilaku yang tidak tepat dari tim dan perilaku rasis para pendukung mereka selama pertandingan melawan Manchester City FC Youth pada 26 Februari 2014.
Kasus rasisme lainnya adalah menimpa pemain tim nasional Jerman Mesut Ozil setelah sang Juara bertahan Jerman gagal lolos dari fase grup Piala Dunia 2018 akibat mengalami kekalahan 0-2 dari Korea Selatan, Mesut Ozil pun menjadi sasaran oleh fans Jerman termasuk para petinggi sepak bola Jerman.
Mezut Ozil yang menyatakan mundur dari tim nasiona Jerman melalui akun twitterya mencuit, “Saya adalah orang Jerman ketika kami menang. Tetapi, saya adalah orang imigran ketika kami kalah,” tulis Ozil di twitternya. Setelah itu Mesut Ozil hijrah ke Turkiye dan menetap di negara Recep Tayyip Erdoğan tersebut.
Itulah ragam dan bentuk rasisme pada sepak bola di benua Eropa. (maspril aries)