Jumat 28 Jul 2023 14:31 WIB

Kader Golkar Uji Ketentuan Masa Jabatan Ketum Parpol ke MK

Pemohon menilai Pasal 2 ayat (1b) UU 2/2011 bertentangan dengan UUD.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus raharjo
Hakim Konstitusi Manahan Sitompul (tengah), Hakim konstitusi Saldi Isra (paling kiri), dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh (paling kanan) di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/2/2023).
Foto: Republika/Eva Rianti
Hakim Konstitusi Manahan Sitompul (tengah), Hakim konstitusi Saldi Isra (paling kiri), dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh (paling kanan) di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/2/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kader partai Golkar, Risky Kurniawan keberatan dengan masa kepemimpinan ketua umum partai politik yang bisa begitu panjang. Risky lantas mengajukan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Partai Politik ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Sidang perdana atas Perkara Nomor 77/PUU-XXI/2023 ini dilaksanakan pada Kamis (27/7/2023) dengan Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh.

Baca Juga

Risky Kurniawan selaku pemohon menguji norma Pasal 2 ayat (1b) UU Parpol yang menyatakan, “Pendiri dan pengurus Partai Politik dilarang merangkap sebagai anggota Partai Politik lain“. Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 2 ayat (1b) UU Parpol bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Kuasa hukum Pemohon, Otniel Raja Maruli Situmorang menyatakan pemohon merupakan anggota partai Golkar sejak 30 Juni 2023. Otniel menyebut kliennya menargetkan kursi Ketua Umum Partai Golkar di masa depan.

"Namun hal ini terhambat karena tidak adanya aturan yang mengikat mengenai pembatasan masa jabatan dalam UU Partai Politik," kata Otniel dalam persidangan yang dikutip pada Jumat (28/7/2023).

Pemohon khawatir jabatan Ketua Umum Partai Golkar dapat diduduki selama-lamanya kendati ada ketentuannya dalam AD/ART. Sebab menurut Pemohon, hal tersebut tidak dapat dibenarkan karena akan berimplikasi pada abuse of power.

"Karena wewenang yang diberikan sebagai sarana untuk melaksanakan tugas dipandang sebagai kekuasaan pribadi," ucap Otniel.

Atas dasar itu, pemohon dalam petitumnya menyatakan Pasal 2 ayat (1b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Partai Politik bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘pengurus partai politik terutama ketua umum atau sebutan lainnya sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai politik memegang masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali dua kali dalam masa jabatan yang sama, baik secara berturut-turut serta pendiri dan pengurus partai politik dilarang merangkap sebagai anggota partai politik lain'.

Atas permohonan ini, Hakim MK Daniel Yusmic P Foekh memberikan nasihat agar pemohon memberikan gambaran persoalan inkonstitusionalitas dengan keberlakuan norma yang diujikan atas hak-hak konstitusionalnya. Selain itu, Daniel meminta agar pemohon menyajikan model perbandingan kriteria dan karakteristik partai politik dari negara lain. Sehingga hakim MK dapat melihat landasan dan pandangan ahli atas pentingnya batasan masa jabatan ketua umum partai politik.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement