REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center of Reform on Economics (Core) meminta adanya pembeda yang melanggar regulasi devisa hasil ekspor sumber daya alam. Hal ini merespons adanya aturan baru terkait sanksi administratif bagi para pengekspor (eksportir) yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73 Tahun 2023 tentang Pengenaan dan Pencabutan Sanksi Administratif atas Pelanggaran Ketentuan Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam.
Direktur Eksekutif Core, Mohammad Faisal, mengatakan pada dasarnya memang butuh adanya sanksi, tetapi harus ada pembeda setiap sektor sumber daya alam tersebut. “Harus ada pembeda, tidak semua sektor digeneralisasi, masing-masing sektor berbeda-beda, jadi misalnya sektor tambang memang sudah banyak keuntungan yang diperoleh dari hasil ekspor, sehingga mereka didorong untuk menyimpan DHE di dalam negeri,” ujarnya kepada wartawan, Sabtu (29/7/2023).
Lanjut Faisal, sektor tambang pada tahun lalu terdapat booming komoditas dengan harga yang melejit. Pengekspor pun mendapatkan banyak keuntungan, tetapi sayangnya tidak parkir di dalam negeri.
“Eksportir lebih memilih menempatkan hasil ekspornya di luar negeri, utamanya Singapura, dengan banyak keuntungan dan lebih efisien,” ucapnya.
Sektor lainnya, lanjut Faisal, pengekspor perikanan mengeluhkan kebijakan tersebut akan mengganggu perputaran uang. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2023, eksportir diwajibkan untuk memarkirkan devisa hasil ekspor paling sebentar tiga bulan dengan besaran minimal 30 persen.
“Perikanan berbeda dengan tambang, dampaknya jika dipaksakan untuk menaruh lebih besar lagi di dalam negeri ini bisa mempengaruhi pendapatan nelayan, padahal sektor ini relatif sudah tipis penerimaan ekspornya,” ucapnya.
Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/2023 terdapat sejumlah sanksi yang akan dikenakan pemerintah kepada eksportir nakal yang ogah memarkirkan devisa hasil ekspor. Dalam hal tersebut, Kementerian Keuangan melalui Bea dan Cukai akan mengenakan sanksi penangguhan layanan ekspor berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Penangguhan pelayanan ekspor adalah pemblokiran terhadap akses yang diberikan kepada eksportir yang berhubungan dengan sistem pelayanan kepabeanan ekspor baik dengan menggunakan teknologi informasi maupun manual," tulis Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73 Tahun 2023.
Lebih lanjut, Bank Indonesia memiliki peran untuk mengawasi kepatuhan eksportir terhadap kewajiban pemasukan devisa hasil ekspor sumber daya alam ke rekening khusus dan penempatan devisa hasil ekspor sumber daya alam dalam instrumen penempatan. Sementara OJK memiliki peran mengawasi kepatuhan eksportir dalam melaksanakan kewajiban pembuatan atau pemindahan escrow account.
"Ini menjadi dasar bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mengenakan sanksi administratif berupa Penangguhan Pelayanan Ekspor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan," tulis aturan tersebut.
Bagi para eksportir wajib menyimpan devisa hasil ekspor sumber daya alam paling sedikit sebesar 30 persen dengan jangka waktu paling singkat selama tiga bulan. Devisa hasil ekspor sumber daya alam yang dimaksud berasal dari hasil barang ekspor sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan dan perikanan. Aturan ini berlaku bagi eksportir dengan nilai ekspor pada pemberitahuan pabean ekspor paling sedikit 250 ribu dolar AS mulai 1 Agustus 2023.