REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Ketika Dmitry Medvedev menyerahkan posisi teratas di Kremlin kepada Vladimir Putin pada 2012 dan banyak pengamat berharap dua orang yang lebih liberal ini akan terus menggunakan posisinya untuk mengarahkan Rusia ke arah reformasi demokrasi. Namun, harapan pengamat itu ternyata tidak sesuai kenyataan.
Satu dekade kemudian, Medvedev telah menjadi wakil ketua dewan keamanan Rusia dan kerap melontarkan ancaman perang nuklir secara blak-blakan. Dia juga menjadi salah satu tokoh Rusia yang anti-Barat.
Medvedev adalah lulusan hukum dan menjadi asisten profesor di St Petersburg State University pada 1990-an. Medvedev memasuki dunia politik sebagai konsultan Putin selama menjadi pejabat di pemerintahan Kota St Petersburg, sebelum memimpin kampanye pemilihan presiden untuk Putin.
Medvedev terpilih menjadi presiden pada 2008 setelah Putin menjalani batas konstitusional dua masa jabatan. Ketika itu, Putin menjabat sebagai perdana menteri. Kemudian pada 2012, Putin memenangkan pemilihan presiden dengan meraih 64 suara.
Ketika Putin menjabat sebagai presiden pada 2012, Medvedev dilantik sebagai perdana menteri. Pada 2021, Putin mengeluarkan dekrit yang mengatur ulang jabatan konstitusional sehingga dia berpotensi menjadi presiden hingga 2036. Medvedev menjadi salah satu pembantu dan tangan kanan Putin sebagai wakil ketua Dewan Keamanan Rusia. Dalam kapasitas inilah, Medvedev kerap memberikan komentar mengenai ancaman perang nuklir.
“Medvedev memikul beban sebagai mantan presiden dan perdana menteri. Oleh karena itu, orang-orang mendengarkannya. Tetapi meskipun menjadi corong bagi Putin, Medvedev tidak memiliki bobot diplomatik,” kata President Kiev School of Economics, Tymofiy Mylovanov.
“Apa yang dia katakan tidak memengaruhi diskusi di komunitas internasional atau di meja PBB. Ini adalah strategi komunikasi murni yang dijalankan Kremlin," kata Mylovanov, dilaporkan The Independent.
Mylovanov menilai, ancaman nuklir yang dilontarkan Medvedev merupakan propaganda Rusia yang lebih luas. Komentar semacam itu dirancang untuk menakut-nakuti orang, termasuk Barat, dan mendorong pandangan bahwa Ukraina harus segera mengakhiri invasi Rusia dengan menyerahkan kendali atas negara tersebut.
Mylovanov yang merupakan mantan menteri ekonomi Ukraina mengatakan, ancaman nuklir Rusia tidak pernah dapat diabaikan sepenuhnya. Dalam pandangan Kiev, setiap peringatan dari Medvedev membuat prospek penggunaan nuklir dalam konflik menjadi lebih kecil kemungkinannya.
"Lima kali lagi dia (Medvedev) melontarkan ancaman seperti itu, maka tidak ada yang akan menganggap dia serius. Medvedev memiliki modal, kepercayaan, dan pengaruh yang terbatas. Akhirnya Putin harus menggunakan orang lain sebagai anjing penyerangnya," ujar Mylovanov.