REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Eksekutif Mahasiswa (EM) Universitas Brawijaya (UB) memberikan tanggapan terkait keputusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang mengizinkan peserta pemilu berkampanye di lembaga-lembaga pendidikan. Dalam hal ini termasuk di sekolah dan kampus seperti di UB.
Presiden EM UB, Rafly Rayhan Al Khajri menyatakan, tempat ibadah, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah seharusnya menjadi ruang netral untuk kepentingan publik. Dengan kata lain, tempat-tempat tersebut bukanlah untuk kepentingan elektoral tertentu.
Larangan penggunaan ketiga jenis sarana tersebut menurutnya harus bersifat mutlak tanpa syarat. "Apabila MK berdalil bahwa tempat ibadah tidak layak digunakan untuk kepentingan kampanye tanpa syarat karena menjadi salah satu upaya mengarahkan masyarakat menuju kondisi kehidupan politik yang ideal sesuai dengan nilai ketuhanan berdasarkan Pancasila, begitupun seharusnya dengan tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah," kata Rafly saat dikonfirmasi Republika, Jumat (18/8/2023).
Menurut dia, tempat pendidikan memang boleh menjadi tempat untuk mempelajari ilmu politik. Namun demikian, tidak untuk kepentingan politik elektoral tertentu. Fasilitas pemerintah boleh digunakan untuk pencerdasan politik bangsa tetapi tidak untuk kepentingan elektoral tertentu.
Adapun mengenai persyaratan 'tanpa atribut' dalam berkampanye di kampus, ia berpendapat, itu tidak menghilangkan relasi kuasa dan uang. Sebab, dua hal itu bisa saja disalahgunakan oleh institusi pendidikan untuk mengomersilkan panggung politik di dalam tempat pendidikan.
Kondisi itu berbahaya bagi netralitas lembaga pendidikan ke depannya. Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengizinkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan selama tidak menggunakan atribut kampanye. Keputusan tersebut termuat dalam Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa (15/8/2023).