REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menyampaikan, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi sekitar 60 persen emisi karbon melalui sektor alam. Artinya, Indonesia menggunakan solusi alami untuk pengurangan emisi karbon dengan pengelolaan penuh kehutanan serta tata guna lahan yang efektif.
“Hampir 60 persen dari pemenuhan pengurangan emisi karbon kita adalah dari sektor alam. Natural solution, natural base carbon emission reduction. Yang basisnya adalah dari forestry dan land use full management. Sedangkan untuk energy transition kita tidak sampai 30 persen,” kata Mahendra dalam acara peluncuran Asosiasi ESG Indonesia di Jakarta, Senin (28/8/2023).
Hal itu berbeda dengan komitmen negara lain yang mayoritas memenuhi pengurangan emisi karbon dari sektor energi. Mahendra menjelaskan, utamanya negara-negara lain mengurangi emisi karbon dengan melalui transisi energi yang berbasis bahan baku fosil ke energi baru terbarukan (EBT). Sekitar 70 persen pemenuhan pengurangan emisi karbon dilakukan melalui pendekatan transisi energi.
“Sebagian besar adalah 70 persen pemenuhan pengurangan emisi karbonnya dari sana. Kalau di Jepang, 99,9 persen. Dan negara-negara berkembang lain juga sama, India saya rasa sama, 85-90 persen,” jelasnya.
Berdasarkan National Determined Contribution (ND) Indonesia terbaru, Indonesia menetapkan target penurunan emisinya pada 2030 sebanyak 31,89 persen (dengan usaha sendiri) dan 43,20 persen (dengan dukungan internasional). Angka tersebut meningkat dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya sebesar 29 persen.
Berkaitan dengan sektor energi, pemerintah Indonesia telah menetapkan target pengurangan emisi sebesar 12,5 persen (dengan usaha sendiri) dan 15,5 persen (dengan dukungan internasional). Lebih lanjut, Mahendra menjelaskan bahwa proses untuk mencapai komitmen pengurangan emisi karbon di dunia tidak mudah dan memerlukan proses yang cukup panjang.
Ia memberi contoh Uni Eropa yang awalnya digadang-gadang sebagai penggerak utama net zero emission, namun saat ini tengah menghadapi krisis energi. Akibat perencanaan yang kurang matang, Jerman yang mengklaim sebagai negara hijau, telah membuka kembali pembangkit listrik bertenaga batu bara (PLTU) disertai dengan pemadaman bergilir guna mencukupi kebutuhan energi masyarakatnya.
Oleh karena itu, Mahendra mendukung serta mengapresiasi pembentukan ESG Research Center sebagai bentuk kolaborasi serta komitmen Indonesia untuk terus berpegang teguh pada prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik (ESG). ESG Research Center dinilai mampu mendorong pencapaian tersebut, khususnya penyelarasan prinsip dalam pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Pada kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi ESG Rhenald Kasali mengatakan, saat ibu kota dipindahkan ke Ibu Kota Nusantara (IKN), maka akan ada banyak keseimbangan yang baru. Oleh karena itu diperlukan adanya penerapan ESG yang konsisten guna merealisasikan pengurangan emisi karbon Indonesia secara efektif.
“Hidup berdampingan antara kearifan lokal dengan manajemen modern akan menjadi kehidupan baru. ESG harus menjadi role model dalam leadership dan mindset bukan hanya urusan divisi sustainibility belaka,” kata Rhenald.