REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis pasar mata uang Lukman Leong mengatakan penguatan rupiah yang terbatas terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dipengaruhi data ekonomi China terkait manufaktur China yang masih terkontraksi.
"Data China yang walau kurang lebih sesuai dengan ekspektasi, tapi manufaktur masih terkontraksi dalam lima bulan terakhir," ujar Lukman di Jakarta, Kamis (31/8/2023).
Data aktual Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur China mencapai 49,7 atau hampir mendekati ekspektasi sebesar 49,1. Adapun data China terkait jasa mencapai 51 dengan ekpektasi 51,1.
"Ekonomi di China masih suram. Hasilnya kurang lebih sesuai dengan perkiraan," ucap Lukman.
Sentimen yang paling memengaruhi penguatan rupiah adalah data Produk Domestik Bruto (PDB) AS kuartal II/2023 yang di revisi lebih rendah dari perkiraan awal 2,4 persen menjadi 2,1 persen pada estimasi kedua. Dolar AS juga tertekan data tenaga kerja Automatic Data Processing (ADP) yang lebih lemah dari perkiraan, yaitu 177 ribu dengan ekspektasi 195 ribu. Menurut dia, data ekonomi AS yang lemah akan meredakan kekhawatiran apabila The Fed akan kembali menaikkan suku bunga.
Senada, Analis Bank Woori Saudara BWS Rully Nova menganggap penguatan rupiah dipengaruhi pertumbuhan PDB AS lebih rendah dari perkiraan awal dan data penyerapan tenaga kerja sektor swasta lebih rendah dari proyeksi. "Index PMI China yang juga melemah menjadi kendala rupiah menguat lebih tinggi lagi," kata Rully.
Pada penutupan perdagangan hari ini, mata uang rupiah menguat sebesar 10 poin atau 0,07 persen menjadi Rp 15.230 per dolar AS dari penutupan sebelumnya sebesar Rp 15.240 per dolar AS.
Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Kamis turut menguat ke posisi Rp 15.237 dari sebelumnya Rp 15.239 per dolar AS.