REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia, yang memiliki kontribusi signifikan terhadap devisa negara, penciptaan lapangan kerja, dan pembangunan ekonomi. Namun, dibalik kesuksesan dan kontribusi tersebut, terdapat praktek-praktek seperti upah murah, ketidakpastian kesejahteraan, dan perlakuan tidak adil terhadap buruh, menjadi perhatian bersama secara serius.
Presiden Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Konfederasi Sarbumusi) Irham Ali Saifuddin menekankan, pentingnya upaya dialog sosial di sektor kelapa sawit. Menurutnya, kebun kelapa sawit menjadi motor ekonomi yang penting bagi negara beserta jutaan orang yang bergantung nafkah.
"Tetapi persoalan-persoalan yang dihadapi buruh sawit juga harus dicarikan solusinya," kata Irham dalam acara diskusi “Penjajahan Buruh di Perkebunan Sawit, Benarkah?” di Matraman, Jakarta, Kamis (31/8/2023).
Ia menjelaksan, Indonesia sebagai penghasil hampir 60 persen minyak sawit dunia. Seharusnya bisa lebih otoritatif lagi dalam mempromosikan bisnis sawit berkelanjutan.
"Di mana di dalamnya ada pilar kepatuhan ketenagakerjaan dan perburuhan yang perlu terus dipromosikan,” ujar Irham dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id.
Wakil Kepala Desk Regional Kompas Group, Rini menjelaskan, industri sawit disorot oleh dunia internasional. Mengingat, industri sawit Indonesia berkembang maju, tetapi buruh di lapangan tetap sejahtera.
"Ada beberapa temuan, buruh sawit dilema karena belum sejahtera. Buruh harian lepas. Digaji saat bekerja. Hak pekerja tidak memadai dan layak. Tak ada jaminan kerja, kesehatan, pensiun, dan lain-lain," papar Rini.
Rini mengatakan, pekerjaan ini merugikan perempuan dan anak-anak yang bekeja membantu suami di kebun. Mereka tak diakui sebagai pekerja. Statusnya pekerja tidak terlihat yang memperoleh upah Rp 110 per hari dan sebulan Rp 2,2 juta.
"Dan dilemanya ini, bekerja lebih dari 3 tahun, belum diangkat sebagai pegawai tetap. Sangat miris. Tidak ada kepastian status pekerja," paparnya.
Bahkan, buruh dimanfaatkan untuk politik pencalegan. Didata KTP, suaranya 'dijual' dan dieksploitasi di Kalimantan.
"Tapi harus diakui, ada buruh yang kesejahteraannya baik. Yang bekerja di perusahaan bersertifikat. Status pekerjaannya jelas. Menikmati hak mereka. Ini di Sumatera Utara. Masih digaji, meski mengalami kecelakaan kerja," jelasnya.
Ketua GAPKI Bidang Pengembangan SDM Sumarjono Saragih menceritakan perjalanan industri sawit masuk ke Indonesia pertama kali adalah tahun 1848 yang mulanya hanya 4 biji saja. Kemudian, mulai dikomersilkan 1911 di Aceh yang mulanya hanya 30 hektare saja.
"Sampai saat ini sudah ada sekitar 16 juta hektar dan menobatkan Indonesia sebagai penghasil minyak sawit terbesar dunia," jelas dia.
Sumarjono tak menapik adanya pekerjaan rumah yang dihadapi oleh pengusaha. Oleh karena itu, kolaborasi multi pihak yang dipimpin oleh pemerintah sangat diperlulan.
"Karena di sini ada 58 persen (kebun kelapa sawait) milik perusahaan, 42 persen adalah petani. Yang di mana, petani ini tidak semua kecil, artinya di sana ada tanggung jawab yang harus dijalankan," jelas dia.
Oleh karena itu, pihaknya tak menutup diri untuk mendapat masukan dari berbagai pihak. Sehingga, dapat ditemukan solusi bersama untuk menyelesaikan persoalan yang di hadapi pengusaha dan buruh di perkebunan kelapa sawit.
"Sawit tersebar di 160 Kabupaten ini masih minim pengawasan. Jadi ada kadang-kadang kelupaan hak dan kewajiban. GAPKI sebagai organisasi pengusaha yang sifatnya sukarela. Oleh karena itu, kita menjadi organisasi yang terbuka. Kita coba sama-sama apa yang bisa dilakukan sesuai tugas masing," jelas dia.
Steering Comitee Jejaring Serikat Pekerja/Serikat Buruh Sawit Indonesia (JAPBUSI) Jeck Supardi mengaku masih banyak pelanggaran dalam praktik perkebunan kelapa sawit. Di antaranya, jaminan sosial, jam kerja, dan status kerja, K3 hingga persoalan sengketa sengketa lahan antara pengusaha dan warga.
Ke depan, ia berharap, dialog, dapat lebih sering dilakukan agar bisa membahas setiap persoalan yang ada. Ia mengajak, semua stakeholder dapat bersama-sama memajukan hak-hak buruh.
"Pelanggaran memang masih ada, tapi praktik baik juga kita lakukan sejak di naugi Jabusi. Kita seringkali ber-audiance dengan GAPKI. Mana perusahaan yang nakal kita bahas agar terurai personal yang ada," papar dia.