REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Pinjaman online (pinjol) kini merebak di dunia kampus. Seperti di Yogyakarta, sebanyak 58 mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta terjerat utang pinjol hingga puluhan juta. Akhir tahun lalu, ratusan mahasiswa IPB Bogor juga terjerat pinjol.
Apa yang membuat mahasiswa terjerat pinjol? Apa solusinya bagi dunia kampus?
Pakar Ekonomi dan Keuangan Syariah, Irfan Syauqi Beik menilai ada ragam sebab para mahasiswa banyak yang terjerat pinjaman online. Meski begitu, menurut Irfan, rata-rata para mahasiswa yang terjerat pinjol karena untuk mengikuti gaya hidup kekinian.
"Rata-rata mereka yang terjerat pinjol itu lebih karena gaya hidup kekinian. Apalagi, kita melihat flexing kekayaan di medsos yang membuat sebagian masyarakat menjadi tertarik dan memaksakan diri untuk memiliki harta yang serupa meski tidak mampu," kata Irfan kepada Republika.co.id pada Selasa (12/09/2023).
Selain itu, menurut Irfan, penyebab lainnya yang membuat mahasiswa memilih untuk melakukan pinjaman online dapat karena keterpaksaan.
"Misalnya, para mahasiswa mengadakan kegiatan yang nilainya ratusan juta rupiah, tapi tidak mampu mencari sponsor dan sumber pembiayaan yang mampu meng-cover biaya kegiatan. Akhirnya, mereka beralih ke pinjol karena harus melunasi utang-utang kegiatan mereka," katanya.
Memang ada penyebab lainnya yang membuat orang melakukan pinjaman online, yakni karena untuk memenuhi kebutuhan dasar. Namun, menurut Irfan, kasusnya sangat jarang terjadi.
"Biasanya mereka akan meminjam langsung dan tidak lewat aplikasi pinjol. Jadi memang mayoritas yang terjerat pinjol adalah lebih karena gaya hidup," katanya
Menurut Irfan, solusi agar para mahasiswa tidak terjerat pinjol adalah dengan meningkatkan literasi keuangan syariah dan literasi digital. Para mahasiswa perlu mendapatkan pemahaman tentang keuangan syariah serta bagaimana mengelola keuangan yang sesuai ajaran agama, bagaimana mengendalikan keinginan dan memprioritaskan kebutuhan yang lebih fundamental. Selain itu, bagaimana agar mahasiwa tidak boleh menjadikan utang sebagai gaya hidup.
"Termasuk juga kaitannya dengan investasi. Bagaimana memilih investasi yang syar'i, logis, masuk akal, dan legal. Jangan sampai juga kena investasi bodong. Adapun literasi digital diperlukan agar mereka paham pentingnya keamanan data. Jangan mudah terjebak dengan link-link aplikasi atau website yang ujungnya bisa menyedot data dan membuat kita kehilangan privasi, dan sebagainya. Pendeknya, mereka harus melek juga secara digital," katanya.