REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Kasus delapan panitia pemungutan suara (PPS) alias panitia pemilu tingkat kelurahan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), dipecat hanya gara-gara bertemu dan menerima uang transport Rp 100 ribu dari seorang bakal calon anggota legislatif (bacaleg). Enam PPS di antaranya tidak tahu sama sekali, orang yang mereka temui adalah bacaleg.
Hal itu terungkap dalam sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik yang digelar Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di kantor Bawaslu Provinsi Sulsel, Kota Makassar, Senin (18/9/2023). Dua anggota DKPP, yakni Muhammad Tio Aliansyah dan Ratna Dewi Pettalolo datang langsung dari Jakarta untuk menyidangkan kasus tersebut.
Dalam perkara nomor 108-PKE-DKPP/VIII/2023 itu, teradu adalah Ketua KPU Kota Makassar M Farid Wajdi serta tiga Anggota KPU Kota Makassar, yaitu Endang Sari, M Gunawan Mashar, dan Abd Rahman. Adapun pengadu adalah Andi Burhanuddin, Muhammad Israq, Ahmad, Suhardi, Muchlis Jerry Ruslim, Budi Setiawan, Muhammad Nur Syahid Munsi, dan Hardi.
Delapan orang itu adalah yang dipecat sebagai PPS di Kecamatan Tamalate oleh KPU Kota Makassar. Ketua KPU Kota Makassar Farid mengatakan, pihaknya memberhentikan delapan PPS karena mereka bertemu dengan bacaleg DPRD Provinsi Sulsel bernama Fadli Ananda.
Fadli merupakan dokter sekaligus pemilik sebuah rumah sakit (RS) swasta di Makassar. Mereka bertemu dokter Fadli di RS pada 25 Mei 2023. Dalan pertemuan tertutup itu, turut hadir bacaleg DPRD Kota Makassar bernama Zulkifli.
Menurut para teradu, delapan PPS itu membahas rencana menempatkan orang sebagai Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara alias panitia tingkat TPS untuk mengamankan basis suara Fadli. Setelah mengikuti pertemuan selama 30 menit itu, dokter Fadli memberikan uang transport masing-masing Rp 100 ribu untuk delapan orang yang ditemuinya.
"Delapan PPS bertemu dengan bakal caleg ini sudah menjadi gosip di Kota Makassar. Ini menjatuhkan kredibilitas dan mencederai citra lembaga KPU," kata anggota KPU Kota Makassar, Endang dalam persidangan yang diikuti Republika.co.id.
KPU Kota Makassar mengetahui detail pertemuan tersebut dari hasil penyelidikan Bawaslu Kota Makassar. Setelah menerima laporan dan rekomendasi dari Bawaslu, KPU Kota Makassar melakukan klarifikasi melalui panggilan video Zoom terhadap delapan PPS tersebut pada 21 Juni 2023.
Dalam proses klarifikasi, delapan PPS itu tak membantah soal pertemuan dengan dokter Fadli dan uang transpor Rp 100 ribu. Karena itu, KPU Kota Makassar dalam rapat pleno memutuskan, delapan panitia tingkat kelurahan itu terbukti melanggar sumpah dan janji jabatan.
Hal itu karena mereka tidak seharusnya bertemu dengan bacaleg dan membahas pengamanan suara. KPU Kota Makassar lantas menerbitkan surat pemberhentian mereka sebagai PPS pada 23 Juni 2023. Namun, surat tersebut baru sampai ke tangan mereka pada 27 Juni 2023.
Sementara itu, delapan mantan PPS itu dalam persidangan DKPP membantah bahwa pertemuan dengan dokter Fadli bertujuan untuk membahas pengamanan suara. Mereka mengeklaim, pertemuan tersebut membahas rencana kaderisasi PAC GP Ansor NU Kecamatan Tamalate, karena Fadli merupakan pembina organisasi tersebut.
Dari delapan mantan PPS itu, satu di antaranya merupakan kader GP Ansor. Adapun tujuh lainnya merupakan orang yang akan direkrut menjadi kader. "Kami diundang untuk bicara kegiatan pengkaderan. Tidak ada bahasan politik," kata salah satu PPS yang dipecat itu.
Sebanyak enam PPS mengaku tidak tahu sama sekali bahwa dokter Fadli adalah bakal caleg DPRD Provinsi Sulsel. Mereka baru mengetahui hal tersebut setelah pertemuan. Ihwal pemberian uang transport, hanya tujuh orang yang menerima.
Satu lagi tidak karena dirinya merasa tidak perlu mengambil lantaran sudah menjadi kader GP Ansor. Para penerima uang ongkos perjalanan itu menganggap itu lumrah mengingat dokter Fadli adalah orang yang 'loyal' dan 'dermawan'. Mereka belakangan mengembalikan uang tersebut setelah dimintai keterangan oleh panitia pemilu tingkat kecamatan.
Lantaran pertemuan dilakukan tidak terkait dengan pekerjaan mereka sebagai panitia Pemilu 2024, delapan mantan PPS itu mengaku heran mendapatkan sanksi pemecatan. "Apa sebenarnya kesalahan saya? Apa karena hadir, karena terima uang? Sampai sekarang saya tidak tahu," kata Muhammad Israq, salah satu PPS yang dipecat.
Meski merasa dirugikan atas pemecatan tersebut, delapan PPS itu mengadukan empat komisioner KPU Kota Makassar atas dugaan pelanggaran kode etik ke DKPP. Sebagai catatan, apa pun putusan DKPP tidak bisa membatalkan pemecatan mereka.
Mereka mendalilkan bahwa empat komisioner KPU Kota Makassar cacat prosedur dalam melakukan pemecatan. Sebab, pemecatan dilakukan tanpa didahului pemecatan sementara sebagaimana diatur dalam peraturan KPU (PKPU). Selain itu, proses klarifikasi dilakukan lewat panggilan Zoom, berita acara hasil klarifikasi tidak ditandatangani.
Pun surat pemberhentian terlambat dikirimkan beberapa hari. "Penyelenggara itu tidak boleh salah dalam hal berkaitan dengan proses," kata Ketua Majelis Hakim DKPP Ratna Dewi Pettalolo mengingatkan Ketua KPU Kota Makassar dalam persidangan.
Ditangani Dewi...