Selasa 19 Sep 2023 11:57 WIB

BPOM Sebut Dunia Perketat BPA di Kemasan Pangan dan Air Minum

Menurut Anisyah, BPOM bisa melakukan penilaian ulang terhadap regulasi RI sebelumnya.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Erik Purnama Putra
Penjual menaruh galon air mineral berbagai merek di bagian luar tokonya (ilustrasi).
Foto: Istimewa
Penjual menaruh galon air mineral berbagai merek di bagian luar tokonya (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak negara di dunia semakin memperketat regulasi dan penggunaan senyawa berbahaya Bisfenol A (BPA) untuk campuran dalam kemasan plastik makanan dan minuman. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mewakili pemerintah RI bakal mmelakukan hal yang sama di Indonesia.

"Isu BPA ini bukan lagi isu nasional, tapi sudah jadi isu global," kata Direktur Standardisasi Pangan Olahan BPOM, Anisyah saat dialog bertema 'Urgensi Pelabelan BPA pada Galon Polikarbonat Bermerek' di stasiun televisi swasta dalam siaran pers di Jakarta, Selasa (19/9/2023).

Anisyah menyebut tren sejumlah negara telah merevisi regulasi yang sebelumnya dinilai masih kurang ketat. Hal itu dilakukan, sejalan dengan sejumlah temuan riset terbaru tentang BPA, yang menyebut besarnya risiko bahaya BPA terhadap kesehatan manusia.

Dia mencontohkan pengetatan regulasi di Uni Eropa (UE) yang pada 2011 menetapkan batas migrasi BPA sebesar 0,6 PPM. Kini, pada 2018 justru direvisi dan diperketat jadi semakin rendah di level 0,05 PPM. 

Pada 2022 dan 2021, Thailand dan Mercosur (negara Amerika Selatan seperti Argentina, Brasil, Paraguay dan Uruguay) juga sudah mengubah batas maksimum migrasi BPA  jadi makin rendah hingga sebesar 0,05 PPM. Artinya, risiko kontaminasi BPA dari kemasan pangan atau minuman ke produk yang diwadahinya, sudah dianggap sangat berbahaya dan harus dihindari.  

Bahkan, kata Anisyah, Eropa sudah bertindak lebih jauh. Bukan cuma memperkecil batas migrasi BPA, Eropa juga secara drastis menurunkan angka asupan harian (total daily intake/TDI) pada asupan tercemar BPA yang dikonsumsi manusia setiap hari.

"Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) sudah melakukan penilaian ulang terhadap TDI atau asupan harian yang bisa ditoleransi terhadap BPA," kata Anisyah. 

Menurut Anisyah, BPOM bisa melakukan penilaian ulang terhadap regulasi sebelumnya, karena mempertimbangkan dampak kesehatan dan risiko terjadinya pelepasan BPA selama proses distribusi. Selain itu, juga diperkuat dengan hasil temuan BPOM pada 2021-2022, yang menunjukkan terjadinya peningkatan migrasi BPA pada kemasan galon isi ulang yang cukup signifikan.

"Semula pada 2015, EFSA menetapkan TDI untuk BPA sebesar 4 mikrogram per kilogram berat badan per hari. Namun, pada April 2023 lalu, sudah ada pemberitahuan dari EFSA bahwa TDI yang baru sudah ditetapkan dengan nilai 0,2 nanogram per kilogram berat badan per hari. Ini artinya, nilai TDI yang baru ini 20.000 kali lebih rendah," katanya. 

Merujuk Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan, batas migrasi BPA di dalam kemasan galon isi ulang polikarbonat belum direvisi, yakni masih di level 0,6 PPM. Di banyak negara lain, batas maksimum migrasi BPA sudah direvisi menjadi lebih rendah, yakni 0,05 PPM dari semula 0,6 PPM. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement