REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW – Pemerintah Rusia mengundang delegasi Taliban untuk berpartisipasi dalam pertemuan untuk membahas penyelesaian krisis Afghanistan yang diinisiasi Moskow. Pertemuan serupa sudah pernah digelar pada November 2022.
“Ya, mereka (Taliban) akan (hadir dalam pertemuan penyelesaian krisis Afghanistan). Mereka sudah mengonfirmasi (partisipasinya),” kata utusan khusus presiden Rusia untuk Afghanistan Zamir Kabulov kepada kantor berita Rusia, TASS, Senin (18/9/2023).
Kabulov mengungkapkan, hampir seluruh peserta dalam format Moskow telah mengonfirmasi kehadirannya. Pertemuan diagendakan digelar di Kazan pada 29 September 2023 mendatang.
Format Moskow terkait penyelesaian isu Afghanistan mencakup Rusia, India, Iran, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Cina, Pakistan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Pertemuan sebelumnya dengan format tersebut digelar pada November 2022.
Pekan lalu, Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB Volker Turk mengatakan, keberlangsungan HAM di Afghanistan berada dalam kondisi terpuruk. Dia secara khusus menyoroti kian tertindasnya kehidupan perempuan di sana di bawah pemerintahan Taliban.
“HAM di Afghanistan berada dalam kondisi terpuruk, dan hal ini sangat mempengaruhi kehidupan jutaan perempuan, laki-laki, anak perempuan dan anak laki-laki,” kata Turk saat berbicara di Dewan HAM PBB, Selasa (12/9/2023). “Tingkat penindasan yang mengejutkan terhadap perempuan dan anak perempuan Afghanistan sangatlah kejam,” tambahnya.
Pada 2021 Dewan HAM PBB yang beranggotakan 47 negara sepakat pada untuk menunjuk seorang ahli independen PBB guna memeriksa pelanggaran HAM di Afghanistan. Taliban diketahui mulai menguasai kembali Afghanistan pada Agustus 2021.
Pada Juni lalu Pelapor Khusus PBB untuk Situasi HAM Afghanistan Richard Bennett mengatakan, perlakuan Taliban terhadap perempuan dan anak perempuan di Afghanistan dapat dikategorikan sebagai apartheid gender. Hal itu karena Taliban mengekang hak-hak dasar mereka
Dia menjelaskan, PBB mendefinisikan apartheid gender sebagai diskriminasi seksual ekonomi dan sosial terhadap individu karena gender atau jenis kelamin mereka. “Kami telah menunjukkan perlunya lebih banyak eksplorasi apartheid gender, yang saat ini bukan merupakan kejahatan internasional, tetapi bisa menjadi demikian,” ungkap Bennett.
“Tampaknya jika seseorang menerapkan definisi apartheid, yang saat ini untuk ras, pada situasi di Afghanistan dan menggunakan seks daripada ras, maka tampaknya ada indikasi kuat yang mengarah ke sana,” tambah Bennett.
Kehidupan perempuan di Afghanistan kembali dikekang oleh Taliban sejak mereka kembali berkuasa pada Agustus 2021. Anak perempuan dilarang melanjutkan pendidikan setelah mereka lulus sekolah dasar. Sekolah menengah dan universitas tak diizinkan bagi mereka. Keputusan melarang perempuan Afghanistan berkuliah diambil Taliban pada Desember tahun lalu.
Tak berselang lama setelah itu, Taliban memutuskan melarang perempuan Afghanistan bekerja di lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non-pemerintah. Sebelumnya Taliban juga telah menerapkan larangan bagi perempuan untuk berkunjung ke taman, pasar malam, pusat kebugaran, dan pemandian umum. Taliban pun melarang perempuan bepergian sendiri tanpa didampingi saudara laki-lakinya. Ketika berada di ruang publik, perempuan Afghanistan diwajibkan mengenakan hijab.
Serangkaian kebijakan Taliban yang “menindas” kehidupan perempuan Afghanistan itu telah dikecam dunia internasional. Hingga saat ini belum ada satu pun negara yang mengakui kepemimpinan Taliban di Afghanistan. Salah satu alasannya adalah karena belum dipenuhinya hak-hak dasar kaum perempuan di sana