Jumat 22 Sep 2023 19:12 WIB

Didi Suhaeri Budiman, Pemilik Asli Lahan Jatikarya dan Penerima Konsinyasi Rp 218 Miliar

Lahan Didi seluas 51 hektare sempat diklaim Kemenhan, Mabes TNI, dan ahli waris lain.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Erik Purnama Putra
H Didi Suhaeri Budiman, pemilik lahan Jatikarya yang menjadi Tol Cimanggis-Cibitung dengan nilai konsinyasi Rp 218 miliar.
Foto: Republika.co.id/Ali Yusuf
H Didi Suhaeri Budiman, pemilik lahan Jatikarya yang menjadi Tol Cimanggis-Cibitung dengan nilai konsinyasi Rp 218 miliar.

REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Uang kosinyasi pembangunan lahan Jatikarya yang kini dibangun menjadi Tol Cimanggis-Cibitung (Cimaci) sebesar Rp 218.893.207.401 yang tertulis di dalam penetapan Reg.No: 04/Pdt.P/cons/2016 belum diberikan kepada yang berhak menerimanya oleh Pengadilan Negeri (PN) Kota Bekasi.

Berdasarkan penelusuran Republika.co.id, dari dokumen risalah riwayat kepemilikan dan asal usul riwayat tanah, yang berhak menerima uang ganti rugi dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tersebut adalah H Didi Suhaeri Budiman (71 tahun), selaku ahli waris H Tomy bin H Jayadi.

Baca Juga

Hal itu karena tanah yang digunakan Tol Cimanggis-Cibitung milik ayahnya, yaitu H Tomy bin H Jayadi. Keterangan riwayat tanah dan persengketaan yang terjadi di atas tanah tersebut sudah diberikan Didi kepada PN Kota Bekasi saat sidang kosinyasi.

Sidang tersebut dihadiri Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bekasi, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Didi dalam sidang membawa dokumen sesuai fatwa waris nomor: 105/P3HP/1994/PAJT tanggal 14 Juni 1994.

"Saya berikan dokumen risalah ini untuk menjelaskan kepada semua pihak bawah tanah tersebut milik ayah saya, dan saya sebagai ahli waris tunggal. Bukan milik siapa pun termasuk Dephan sekarang Kemenhan," kata Didi Suhaeri saat memberikan dokumen kepemilikan lahan di rumahnya kawasan Nagrak, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (22/9/2023).

Sehingga, kata Didi, ketika PN Kota Bekasi melalui PN Cianjur menawarkan uang ganti rugi dari proyek jalan Tol Cimaci, ia pun menolaknya. Alasannya, karena ada 13 pihak lainnya yang dijadikan termohon dalam putusan konsinyasi tersebut.

Mereka adalah Kemenhan, almarhum Nyai Dewi binti Botak cs, Ino binti Minan dan Djaiun kelompok Candu bin Gondo dan Gunun cs, Hasan Karno, Suharjono, Ali Asegaf, Nursen, almarhum Adang bin Syarif, Gandi Syamsudin, Heru Marsongko, dan Laisan bin Kentun (kelompok H Sama Cs).

Kemudian, ada H Teddy Sudiro ahli waris Herman Saren Sudiro, PT Usama Rahayu, PT Fajar Propertindo Utama, PT Sarana Nusantara Raya, PT Surya Nusantara Lestari. Dia menegaskan, lahan puluhan hektare yang dijadikan tol merupakan miliknya selaku ahli waris, bukan atas nama orang lain.

"Saya menolak karena mereka bukan pemilik atas tanah tersebut. Sebagaimana saya jelaskan dalam berita acara nomor 01/Pdt.P.Cons/2017/PN/Cjr.del.jo.No 04/Pdt.p.con/2016/PN.Bks, tanggal 14 Februari 2017," kata Didi.

Alasan tersebut disampaikannya berdasarkan riwayat tanah dan skema awal munculnya persengketaan tanah seluas 51 hektare di Kelurahan Jatikarya, Kota Bekasi. Dari total 51 hektare, lahan yang digunakan untuk jalan tol seluas 4,2 hektare.

Lahan Didi masih tersisa 46 hektare lebih di Jatikarya, Kota Bekasi. Nilai ganti rugi Rp 218 miliar itulah untuk penggunaan lahan 4,2 hektare. Karena uang konsinyasi yang besar, sehingga muncul banyak pihak yang mengaku-aku sebagai ahli waris demi mendapatkan uang ganti rugi.

Menurut Didi, tanah tersebut awalnya milik NV Cultur MIJ Populair Tanjung Oost dengan Nomor Eigendom Verponding 5658 yang luasnya 2.400 hektare pada era Belanda. Hal itu diperkuat berdasarkan surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT) dari BPN Jakarta Timur (Jaktim) Nomor 05/T/SKPT/2002 tanggal 21 Februari 2002.

Namun, tanah tersebut terkena penertiban agraria berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1958 berdasarkan SK Menteri Agraria Nomor: SK 219/KA tanggal 12 Agustus 1958. Surat pelimpahan Eigendom Verponding 5658 dari Presiden Sukarno kepada pimpinan Pengerahan Tenaga Kesatuan Malaya  Merdeka (Kemam) Abdullah Hanan Sofyan pada 10 November 1959 yang pengurusan hak tanah berdasarkan Eigendom Verponding tersebut diserahkan kepada wakilnya Abdullah Hanan Sofyan, yang bernama Habib Bulloh.

"Kemudian Habib Bulloh berdasarkan wewenangnya, melakukan jual beli tanah tersebut kepada ibu angkat saya, Gusnidar. Gusnidar ini ajudan khusus Ibu Tien Soeharto," kata Didi.

Menurut Didi, jual beli dan kuasa pengurusan tersebut tertuang secara rinci di dalam akta notaris Nomor 58 Tanggal 24 April 1995 Notaris Chufron Kamal SH, dan berdasarkan penetapan PN Jakarta Pusat Nomor: 160/Pdt/P/1995/PN.JKT.Pst tanggal 2 Mei 1995 dan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah  (SKPT) Nomor: 05/T/SKPT/2002 tanggal 21 Februari 2002 dari BPN Jaktim.

115 surat girik...

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement