REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Aksi bunuh diri yang dilakukan oleh mahasiswi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menimbulkan duka mendalam bagi rekan-rekannya. Tidak ada yang menyangka korban melakukan aksi bunuh diri karena SMQF (18 tahun) dikenal sebagai sosok yang supel dalam bergaul.
Rupanya korban memiliki masalah psikologis dan pernah menyatakan keinginan bunuh diri kepada temannya. Korban bahkan mencoba bunuh diri dua kali, dan aksi nekat yang kedua berhasil menghilangkan nyawa korban.
Psikolog klinis Anna Surti Ariani menjelaskan bahwa ada risk factor alias faktor risiko yang membuat seseorang menjadi lebih rentan mengalami bunuh diri. Kemudian ada juga protective factor alias faktor yang cenderung melindungi seseorang agar tak sampai mengalami bunuh diri.
"Beberapa risk factor-nya yaitu faktor risiko pribadi seperti pernah mengalami depresi atau masalah kejiwaan lain, trauma masa kecil, menjadi korban kekerasan. Lalu ada lagi faktor relasi seperti bullying (perundungan) dan lainnya," jelas Anna Surti Ariani kepada Republika.co.id, Selasa (3/10/2023).
Selain masalah perundungan, ada faktor risiko relasi lainnya seperti ada orang tercinta atau anggota keluarga yang juga pernah melakukan percobaan bunuh diri, putus cinta atau bercerai, punya hubungan yang sangat sering bertengkar atau banyak kekerasan, atau terisolasi dari lingkungan sosialnya.
Tidak hanya itu, faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi keinginan seseorang untuk bunuh diri. Beberapa di antaranya yakni ada beberapa kasus bunuh diri di area/komunitas tersebut, mengalami diskriminasi. Kemudian faktor budaya seperti stigma kurang tepat tentang masalah kejiwaan juga dapat memicu keinginan bunuh diri. Misalnya kalau depresi itu tanda kurang beriman.
"Intinya, tidak mungkin hanya satu penyebab saja, pasti ada beragam penyebab sekaligus yang membuat seseorang memutuskan untuk bunuh diri," jelas Ketua IPK Indonesia (Ikatan Psikolog Klinis Indonesia) tersebut.
Ada beberapa hal yang dilakukan bila ada orang ingin bunuh diri....