Jumat 06 Oct 2023 14:31 WIB

Jelang Pemilu, MUI: Politik Praktis Tidak Diperkenankan di Masjid

Masjid adalah rumah besar umat Islam.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Hafil
. Ilustrasi masjid
Foto: republika
. Ilustrasi masjid

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Tahun 2024 merupakan momen penting bagi bangsa Indonesia, karena pesta rakyat pemilihan umum (Pemilu) akan dilakukan. Di tahun ini, masyarakat memiliki peran penting dalam memilih siapa pemimpin mereka dalam waktu lima tahun ke depan.

Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ahmad Zubaidi menyebut, jelang Pemilu ini polarisasi di tengah masyarakat kerap terjadi. Perbedaan pilihan yang ada tidak menutup kemungkinan juga terjadi di antara pada Da'i atau ulama Tanah Air.

Baca Juga

"Para Da'i kita ngeblok sana, ngeblok sini, yang kemudian pada saat penyampaikan materi kelupaan. Kelupaan kalau mereka itu Da'i, sehingga yang disampaikan seperti juru kampanye," ujar dia saat dihubungi Republika, Jumat (6/10/2023).

Ia pun menyoroti keprihatinan ketika penyampaian-penyampaian politik praktis itu sudah masuk di tempat-tempat ibadah. Menurutnya, hal ini sudah tidak sesuai dan tidak pada tempatnya ya, karena tempat ibadah menjadi rumah bersama umat beragama.

"Terutama di umat Islam, masjid adalah rumah besar umat Islam. Sehingga seorang Da'i tidak diperkenankan untuk menyampaikan materi-materi politik praktis di masjid, karena justru itu bisa memecah belah umat," lanjut Kiai Zubaidi.

Hal ini ia sampaikan menyusul Kementerian Agama (Kemenag) yang menerbitkan Surat Edaran (SE) Menteri Agama (Menag) dengan Nomor SE 09 Tahun 2023 tentang Pedoman Ceramah Keagamaan. Edaran ini dikeluarkan dengan tujuan untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Ia pun menyatakan dukungan atas edaran tersebut. Bahkan, ia menilai pedoman seperti ini penting dimiliki, untuk menjaga perdamaian dan situasi yang aman.

"Terkait dengan adanya Surat Edaran Kementerian Agama yang terkait panduan dakwah bagi para da'i, saya kira ini memang penting sekali ya para da'i. Kita punya guidance untuk berdakwah di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini," ujar dia.

Setiap pihak, menurutnya, pasti menginginkan situasi di Indonesia senantiasa damai, bersatu, nyaman, aman dan tentram. Meski demikian, ia tidak menampik terkadang ada fenomena dakwah yang berpotensi menimbulkan konflik, terutama ketika dakwah itu disampaikan dengan cara-cara yang memecah belah umat.

Hal ini contohnya terjadi pada dakwah-dakwah yang menonjolkan adanya fanatisme kelompok. Jenis dakwah seperti ini biasanya bisa menimbulkan kegaduhan ataupun perpecahan di tengah-tengah umat Muslim Indonesia.

Kiai Zubaidi menyebut, fanatisme kelompok ini banyak jenisnya. Salah satunya bisa berupa fanatisme kelompok organisasi, mazhab tertentu yang dipercaya, atau mungkin aliran tertentu.

"Kadang-kadang, ada da'i yang menyampaikan dakwanya itu merasa paling benar sendiri dan yang lain dianggap salah semua. Nah, ini tentu yang bisa menyebabkan terjadinya perpecahan di tengah-tengah masyarakat," ucap dia.

Di sisi lain, Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah MUI KH M Cholil Nafis juga ikut memberikan komentar atas SE dari Kemenag ini. Ia menyoroti salah satu isi Surat Edaran, yang menyebut bahwa materi ceramah keagamaan tidak bermuatan kampanye politik praktis.

"Sebenarnya para penceramah tak ada salahnya berceramah yang muatan politik praktis asal bisa menjaga kode etiknya, tidak ada ujaran kebencian dan tidak dilakukan di rumah ibadah. Sebab UU dan peraturan kita memperbolehkan perceramah jadi jurkam dan juga boleh jadi politisi," ujar dia di akun X miliknya, Kamis (5/10/2023) kemarin.  

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement