Ahad 15 Oct 2023 08:58 WIB

Gaza Bersiap Hadapi Serangan Darat Israel

Tentara Israel telah membombardir Gaza dengan sekitar 6.000 bom.

Rep: Amri Amrullah / Red: Natalia Endah Hapsari
Intervensi serangan darat Israel juga akan berbahaya bagi penduduk Palestina yang tinggal di Gaza/ilustrasi.
Foto: EPA-EFE/MARTIN DIVISEK
Intervensi serangan darat Israel juga akan berbahaya bagi penduduk Palestina yang tinggal di Gaza/ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Hampir seminggu setelah Hamas melancarkan serangan mengejutkan terhadap Israel, penduduk Gaza telah bersiap-siap menghadapi serangan darat, dengan ribuan pasukan dan gempuran tank. Israel akan mengerahkan pasukan cadangan dan memindahkan peralatan militer ke perbatasan dengan Gaza. 

Namun, potensi serangan darat di daerah kantong yang terkepung itu, salah satu wilayah yang paling padat penduduknya di dunia, bisa jadi akan menelan biaya yang sangat tinggi bagi Israel. Hampir dua hari setelah Israel menyaksikan serangan paling berani dan paling canggih yang dilakukan oleh kelompok pejuang militan Palestina di tanahnya.

Baca Juga

Walau Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membuat sebuah janji kepada rakyat Israel. "Apa yang akan dialami Hamas akan sulit dan mengerikan... kita akan mengubah Timur Tengah," katanya seperti dilansir dari AP, Ahad (15/10/2023).

"Operasi Pedang Besi" kemudian diluncurkan, dengan Menteri Pertahanan Israel Youv Gallant memperingatkan bahwa, "Tidak ada listrik, tidak ada air, tidak ada gas" yang akan mencapai Jalur Gaza yang terkepung.

Pada hari Kamis, tentara Israel telah membombardir Gaza dengan sekitar 6.000 bom. Bom tersebut mengandung total 4.000 ton bahan peledak, menurut sebuah pernyataan militer.

Jumlah korban tewas di daerah kantong tersebut, yang merupakan rumah bagi lebih dari 2 juta orang Palestina, meningkat menjadi 1.417, kata kementerian kesehatan Gaza pada hari Kamis, dengan 6.268 orang terluka. Namun, warga Gaza tahu bahwa hal terburuk masih akan segera datang.

Tahap selanjutnya dari serangan Israel telah menjadi jelas, pasukan sedang "mempersiapkan manuver darat" jika para pemimpin politik memerintahkannya, juru bicara militer Israel Richard Hecht mengatakan kepada para wartawan pada hari Kamis (12/10/2023).

Peralatan militer dan barisan kendaraan lapis baja telah dipindahkan ke garis depan baru, di mana Israel membangun infrastruktur untuk operasi di masa depan, Hecht mengungkapkan pada hari Rabu. Sekitar 360.000 tentara cadangan telah dikerahkan - mobilisasi wajib militer terbesar sejak Perang Yom Kippur tahun 1973.

Nafsu politik untuk melakukan serangan darat tampaknya sudah pasti. Hanya sehari setelah serangan Hamas yang mengejutkan itu, Netanyahu mengatakan kepada Presiden AS Joe Biden: "Kita harus masuk [ke Gaza]. Kita tidak bisa bernegosiasi sekarang," demikian laporan media AS.  

"Sepengetahuan saya, operasi darat telah diputuskan," kata Jenderal Dominique Trinquand, mantan kepala misi militer Prancis untuk PBB. "Penetrasi ke dalam Gaza akan memiliki tujuan utama untuk menghancurkan Hamas," tambahnya.

Namun, intervensi serangan darat Israel juga akan berbahaya bagi penduduk Palestina yang tinggal di Gaza, dan sangat rumit bagi pasukan militernya. Wilayah ini merupakan salah satu yang paling padat penduduknya di dunia, dengan hampir 5.500 penduduk per meter persegi. 

Jalanan yang padat dan sempit cenderung memaksa para pejuang untuk bertempur dengan tangan kosong dan sangat meningkatkan risiko jatuhnya korban sipil. Kerumitan lebih lanjut adalah jaringan terowongan, yang dijuluki "Metro Gaza" oleh para ahli keamanan Israel. 

Beberapa terowongan memiliki kedalaman hingga 30 atau 40 meter, yang memungkinkan para militan untuk bergerak di bawah tanah sementara langit menghujani berton-ton bahan peledak.

Tentara dan intelijen Israel dipastikan mengetahui sebagian dari jaringan itu, dan membombardirnya dengan gencar pada tahun 2021, tetapi bagian lainnya tetap dirahasiakan dan akan membuat operasi darat Pasukan Pertahanan Israel (IDF) di Gaza menjadi lebih sulit.

Dalam kondisi yang sulit ini, masih ada pertanyaan tentang bagaimana membebaskan para sandera yang ditahan oleh Hamas. "Bertindak langsung berarti mempertimbangkan fakta bahwa sejumlah besar sandera mungkin akan dikorbankan," kata Trinquand.

 

'Israel Tidak Bisa Diam Saja'

Di masa lalu, Israel enggan mengirim pasukannya ke Gaza. Sebuah memo militer tahun 2014 yang bocor ke media mengatakan bahwa operasi semacam itu akan "memakan waktu lima tahun.

Karena Israel saat itu sadar, serangan darat langsung ke Gaza akan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa yang sangat besar. Dan akan membahayakan perjanjian damai dengan Mesir dan negara-negara Arab lainnya di wilayah tersebut."

Pada tahun 2023, konteksnya telah berubah. "Informasi yang kami dengar dari Israel hari ini adalah bahwa guncangan [yang disebabkan oleh serangan Hamas] begitu besar sehingga Israel tidak bisa tidak melakukan apa-apa. Entah itu melakukan negosiasi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun untuk membebaskan para sandera, atau bertindak sekarang," kata Trinquand.

Namun, tentara Israel tidak memiliki jaminan untuk mencapai tujuan utamanya: menghancurkan Hamas dengan cepat sembari membatasi jumlah pasukan dan korban sipil.

Menyingkirkan Hamas dari kekuasaan kemungkinan akan membutuhkan pendudukan kembali Gaza - untuk sementara atau mungkin selama bertahun-tahun. Meski begitu, Hamas memiliki sejarah panjang beroperasi sebagai kelompok pemberontak bawah tanah di wilayah-wilayah yang dikuasai Israel.

Tidak diragukan lagi, inilah alasan mengapa Netanyahu meminta warga Israel untuk bersiap-siap menghadapi "perang yang panjang".

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement