REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pakar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII), Allan Fatchan Gani Wardana menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kabulkan gugatan mengenai uji materi undang-undang terkait batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Menurutnya dikabulkannya gugatan mengenai syarat usia capres-cawapres ini membuktikan bahwa MK telah terjebak pada arus politik menuju pemilu 2024.
Ia mengungkapkan empat catatan terkait putusan MK tersebut. "Pertama, bahwa otak atik syarat usia capres-cawapres jelas bukan ranahnya MK melainkan ranahnya pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR dan Presiden," kata Allan kepada Republika, Senin (16/10/2023).
Menurutnya yang berhak mengatur terkait syarat capres-cawapres termasuk soal usia adalah pembentuk UU. Tugas MK hanya menguji sebuah norma apakah bertentangan dengan UUD atau tidak (menguji konstitusionalitas norma).
"Putusan ini sangat mengacaukan sistem ketatanegaraan yang selama ini sudah babak-belur akibat ulah segelintir elite yang tidak mematuhi hukum tata negara kita," ucapnya.
Kemudian yang kedua, ia menilai putusan MK tersebut membuktikan bahwa sebagian hakim MK tidak memiliki komitmen kuat untuk mengawal proses demokrasi yang mengedepankan etika politik. Allan mengatakan mereka yang mengabulkan putusan ini telah terjebak dalam permainan kekuasaan terutama terjebak untuk memenuhi ambisi politik mereka yang ingin berkuasa terus-menerus dan juga melanggengkan dinasti politik.
"Ketiga, putusan ini akan menjadi beban institusi MK dan dicatat oleh sejarah," ungkapnya.
Ia menuturkan, kepercayaan publik terhadap MK akan menurun seiring turunnya kualitas putusan dan turunnya integritas dalam pembuatan putusan.
Keempat, MK yang lahir sebagai produk reformasi dinilai telah runtuh dan susah untuk dipercaya dan diberikan kepercayaan pasca-pengucapan putusan yang mengabulkan syarat usia capres cawapres tersebut.