Selasa 17 Oct 2023 14:28 WIB

Pakar Hukum Tata Negara: MK Telah Terjebak Arus Politik Menuju Pemilu 2024

Kepercayaan publik terhadap MK akan menurun seiring turunnya kualitas putusan.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Fernan Rahadi
Ketu Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) berbincang dengan Majelis Hakim MK Saldi Isra dalam sidang pembacaan putusan di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10/2023). Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI). MK menolak syarat usia capres-cawapres diturunkan menjadi 35 tahun. Dalam Sidang tersebut MK juga mengabulkan uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru Re A. MK menyatakan batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun kecuali sudah berpengalaman sebagai kepala daerah.
Foto: Republika/Prayogi
Ketu Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) berbincang dengan Majelis Hakim MK Saldi Isra dalam sidang pembacaan putusan di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10/2023). Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI). MK menolak syarat usia capres-cawapres diturunkan menjadi 35 tahun. Dalam Sidang tersebut MK juga mengabulkan uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru Re A. MK menyatakan batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun kecuali sudah berpengalaman sebagai kepala daerah.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pakar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII), Allan Fatchan Gani Wardana menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kabulkan gugatan mengenai uji materi undang-undang terkait batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Menurutnya dikabulkannya gugatan mengenai syarat usia capres-cawapres ini membuktikan bahwa MK telah terjebak pada arus politik menuju pemilu 2024. 

Baca Juga

Ia mengungkapkan empat catatan terkait putusan MK tersebut. "Pertama, bahwa otak atik syarat usia capres-cawapres jelas bukan ranahnya MK melainkan ranahnya pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR dan Presiden," kata Allan kepada Republika, Senin (16/10/2023).

Menurutnya yang berhak mengatur terkait syarat capres-cawapres termasuk soal usia adalah pembentuk UU. Tugas MK hanya menguji sebuah norma apakah bertentangan dengan UUD atau tidak (menguji konstitusionalitas norma). 

"Putusan ini sangat mengacaukan sistem ketatanegaraan yang selama ini sudah babak-belur akibat ulah segelintir elite yang tidak mematuhi hukum tata negara kita," ucapnya. 

Kemudian yang kedua, ia menilai putusan MK tersebut membuktikan bahwa sebagian hakim MK tidak memiliki komitmen kuat untuk mengawal proses demokrasi yang mengedepankan etika politik. Allan mengatakan mereka yang mengabulkan putusan ini telah terjebak dalam permainan kekuasaan terutama terjebak untuk memenuhi ambisi politik mereka yang ingin berkuasa terus-menerus dan juga melanggengkan dinasti politik.

"Ketiga, putusan ini akan menjadi beban institusi MK dan dicatat oleh sejarah," ungkapnya.

Ia menuturkan, kepercayaan publik terhadap MK akan menurun seiring turunnya kualitas putusan dan turunnya integritas dalam pembuatan putusan.

Keempat, MK yang lahir sebagai produk reformasi dinilai telah runtuh dan susah untuk dipercaya dan diberikan kepercayaan pasca-pengucapan putusan yang mengabulkan syarat usia capres cawapres tersebut.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement