REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Wahyu Suryana, Antara
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pertama, Jimly Asshiddiqie meragukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan merevisi Peraturan KPU menyangkut pencalonan Presiden-Wakil Presiden seusai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibacakan pada Senin (16/10/2023). Sebab, KPU harus berkonsultasi dengan DPR RI sebelum mengubah PKPU.
Tanggapan Jimly menyangkut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berpeluang membuat Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres. Berdasarkan PKPU nomor 19 tahun 2023 pendaftaran capres-cawapres berlangsung pada 19-25 Oktober 2023. Dengan begitu, KPU hanya punya waktu 3 hari untuk bisa mengubah peraturan itu sejak putusan MK dibacakan.
Dalam PKPU Pada pasal 13 tentang persyaratan calon di ayat 1 poin Q juga menyebutkan syarat capres dan cawapres minimal berusia 40 tahun. Perubahan peraturan itu membyat KPU RI diwajibkan berkonsultasi dengan DPR RI dan Pemerintah.
"Dalam UU Pemilu PKPU itu diwajibkan harus didahului dengan konsultasi dengan DPR dan pemerintah, itu ada kewajiban konsultasi, nah pertanyaannya konsultasinya itu sempet nggak?" kata Jimly kepada wartawan, Selasa (17/10/2023).
Hasil konsultasi itu memang tak mengikat KPU, sehingga KPU tidak wajib mengikuti pendapat DPR. Hanya saja, KPU RI menurutnya, segan kalau tak mengikuti pendapat DPR RI secara mayoritas.
"Tapi dalam praktik enggak begitu, KPU itu takut nggak ngikutin pendapat DPR mayoritas, sehingga timbul problem soal independensi KPU, sanggup nggak mereka mengikuti putusan MK itu dengan mengubah PKPU dengan mengabaikan pendapat2 DPR," ujar Jimly.
Jimly pun menyoroti proses konsultasi KPU dengan DPR pasti menuai badai protes. Di antaranya dari fraksi parlemen yang berkoalisi dengan partai pendukung capres yaitu PDIP, PPP, Nasdem, PKB, PKS dan Demokrat.
"Kalau dikumpulkan dua kubu. Kubu AMIN (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) yakni Nasdem, PKB, PKS Ini pada marah semua ini sekarang dengan putusan MK itu. Nah kubu kedua PDIP plus PPP juga marah dengan putusan MK ini dan jumlahnya dua kubu ini sudah 54 persen," ucap Jimly.
Sehingga Jimly pesimistis KPU RI bakal berani mengambil lompatan jauh dengan mengubah PKPU. "Karena waktunya sudah terlalu mepet, kecuali KPU berani langsung dia ubah tanpa konsultasi atau kalau konsultasi tidak mengikat," ujar Jimly.
Dalam hal ini, Jimly mendorong DPR dan Ppmerintah mengkaji stabilitas sistem aturan. Jimly mengajak DPR dan pemerintah bijak mengambil sikap atas putusan MK ini.
"Supaya dia tidak bertindak di atas kepentingan permainan hidup yang pragmatis sektoral, tapi dia memikirkan bangsa," ujar Jimly.
Diketahui MK memutus tujuh perkara uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal capres dan cawapres pada Senin (16/10/2023). Enam gugatan ditolak.
Tetapi MK memutuskan mengabulkan sebagian satu gugatan yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Perkara itu masuk ke MK dengan nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan yang pro pencalonan Gibran tetap diketok meski dihujani empat pendapat berbeda atau Dissenting Opinion hakim MK dan dua alasan berbeda dari hakim MK.
"Mengadili mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK pada Senin (16/10/2023).
MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan "berusia paling rendah 40 tahun" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Sehingga pasal 169 huruf q selengkapnya berbunyi 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'," ujar Anwar.
Ketika pertimbangan hukum hakim MK dibacakan, ditegaskan bahwa putusan tersebut berlaku pada Pilpres 2024.
"Ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo berlaku mulai pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dan seterusnya," kata Hakim MK Guntur Hamzah.