REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto mengungkapkan, ASN rentan terlibat praktik korupsi menjelang tahun politik. Menurut Agus, hal tersebut berangkat dari kondisi para kontestan politik yang memerlukan amunisi dana akibat biaya politik tinggi.
"Dalam catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejumlah kegiatan birokrasi berpotensi menjadi sasaran korupsi,” ungkap Agus dikutip dari laman KASN, Selasa (24/10/2023).
Kegiatan birokrasi yang berpotensi menjadi sasaran korupsi itu, pertama praktik suap dalam pengisian jabatan ASN, baik jabatan pimpinan tinggi, administrator, dan pengawas. Kedua, kegiatan pengadaan barang dan jasa. Ketiga, kebijakan anggaran, baik dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan dan keempat, penerbitan perizinan.
Agus menerangkan, para kontestan politik tentunya tidak dapat mengeksekusi langsung berbagai peluang korupsi tersebut. Mereka, kata dia, akan berkolusi bersama oknum ASN pemilik otoritas pengelolaan sumber daya anggaran, sumber daya manusia, dan aset, yang bersedia menggadaikan integritas.
Menurut Agus, hingga saat ini sudah banyak ASN yang telah terlibat, baik sebagai pelaku utama atau perantara. Berdasarkan data tren kasus korupsi di Indonesia pada 2022, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan, dari 1.396 tersangka korupsi, 506 orang atau 36 persen di antaranya berstatus sebagai ASN dan mayoritas bertugas di pemerintah daerah.
Dia mengingatkan, politisasi ASN pada akhirnya hanya akan menghasilkan pegawai negeri sipil yang tidak beretika dan rela mengorbankan kepentingan publik demi menyenangkan majikan politik mereka. Dalam situasi itu, kontestan politik yang berposisi sebagai petahana, baik eksekutif dan legislatif, lebih berpeluang untuk melakukannya ketimbang kontestan politik non-petahana.
“Bangunan relasi kuasa dan pemahaman loyalitas yang sempit membuka peluang timbulnya kolusi tersebut," jelas dia.
Agus kemudian mengimbau kepada para ASN untuk terlibat dalam politisasi dan korupsi dalam tahun politik, yang dapat menyebabkan melambatnya pelaksanaan program dan kegiatan yang telah direncanakan. Pelayana publik, kata dia, semestinya tetap berjalan efektif meski berada di tahun politik.
"Tidak ada pilihan bagi ASN dalam menyikapi situasi ini selain bekerja dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Loyalitas kepada bangsa dan negara harus berada di atas kepentingan atasan atau kepentingan politik elektoral," kata Agus.
Sementara itu, Koordinator ICW Agus Sunaryanto menyoroti akuntabilitas partai politik menjadi salah satu penyebab terjadinya politisasi birokrasi. Dari uji keterbukaan informasi partai politik yang telah dilakukan ICW, rata-rata partai politik tertutup soal laporan keuangan mereka.
“Seharusnya partai politik memiliki kewajiban untuk menginformasikan program kinerja dan laporan keuangan. Namun, pada uji coba di lima provinsi yakni DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, dan Sumatra Utara, hasilnya rata-rata 95 persen partai politik ternyata tertutup soal laporan keuangan dan hasil audit mereka,” kata dia.
Dia pun menekankan perlunya evaluasi atas upaya pencegahan korupsi di kalangan birokrasi. Sebab, di beberapa daerah pihaknya menemukan ada kepala daerah yang enggan memecat ASN terpidana korupsi karena mereka merupakan tim sukses dalam pemenangan pilkada.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyampaikan soal masih adanya pungutan liar yang menghantui sistem kepegawaian di Indonesia, seperti dalam pelaksanaan mutasi dan kenaikan pangkat. Dia menjelaskan, fenomena itu terjadi karena birokrasi maupun kepemimpinannya belum bebas dari korupsi, di mana hal itu sebenarnya berakar dari Pemilu yang tidak berintegritas.