Ahad 05 Nov 2023 07:31 WIB

Warga Gaza Hidup Hanya dengan Dua Potong Roti dan Mulai Kesulitan Air Bersih

Gaza saat ini digambarkan sebagai tempat 'kematian dan kehancuran'.

Rep: Dwina Agustina/ Red: Nora Azizah
Seorang pria Palestina menggendong seorang anak yang meninggal saat yang lain mencari korban di antara puing-puing bangunan.
Foto: AP Photo/Abdul Qader Sabbah
Seorang pria Palestina menggendong seorang anak yang meninggal saat yang lain mencari korban di antara puing-puing bangunan.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Rata-rata warga Palestina di Gaza hidup dari dua potong roti  yang terbuat dari tepung yang ditimbun PBB di wilayah tersebut. Namun, kalimat utama yang sekarang terdengar di jalan adalah 'Air, dan air'.

Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mendukung sekitar 89 toko roti di seluruh Gaza dengan tujuan memberikan roti kepada 1,7 juta orang. “Sekarang orang tidak hanya sekedar mencari roti. Ia mencari air," ujar Direktur badan tersebut Thomas White, dilansir AP, Ahad (5/11/2023).

Baca Juga

White mengatakan, dia melakukan perjalanan keseluruhan Gaza dalam beberapa minggu terakhir. Perjalan ini menggambarkan tempat itu sebagai tempat kematian dan kehancuran.

Wilayah kantong itu memperlihatkan bahwa sudah tidak ada tempat yang aman saat ini. Orang-orang khawatir akan kehidupan, masa depan, dan kemampuan untuk memberi makan keluarga mereka.

Wakil koordinator Timur Tengah PBB Lynn Hastings mengatakan, hanya satu dari tiga jalur pasokan air dari Israel yang beroperasi. “Banyak orang yang bergantung pada air tanah yang payau atau asin,” kata koordinator kemanusiaan untuk wilayah Palestina itu.

Sedangkan Kepala Kemanusiaan PBB Martin Griffiths menyatakan, negosiasi intensif sedang dilakukan antara pihak berwenang dari Israel, Mesir, Amerika Serikat (AS), dan PBB mengenai izin bahan bakar memasuki Gaza. Dia menegaskan, bahan bakar sangat penting untuk berfungsinya institusi, rumah sakit, dan distribusi air dan listrik. 

“Kita harus mengizinkan pasokan ini secara andal, berulang-ulang, dan bergantung ke Gaza," kata Griffiths.

Generator cadangan, yang sangat penting untuk menjaga rumah sakit, pabrik desalinasi air, fasilitas produksi makanan, dan layanan penting lainnya tetap beroperasi. Namun, Hastings menyatakan satu per satu terhenti karena pasokan bahan bakar habis.

Selain itu, White menunjuk pada masalah besar lainnya. Limbah tidak diolah dan malah dipompa ke laut dan paling berbahaya, ketika bahan bakar habis, limbah akan mengalir ke jalan-jalan.

Selain itu, menurut White, pasokan gas untuk memasak yang dibawa ke Gaza dari Mesir oleh pihak swasta sebelum perang semakin berkurang. Organisasi bantuan seperti UNRWA tidak akan bisa turun tangan dan meniru jaringan distribusi yang dilakukan sektor swasta untuk barang penting tersebut.

White mengatakan, hampir 600 ribu orang berlindung di 149 fasilitas UNRWA, sebagian besar adalah sekolah. Namun badan tersebut telah kehilangan kontak dengan banyak orang di wilayah utara, tempat Israel melakukan operasi darat dan udara yang intens menyusul serangan tidak terduga oleh Hamas pada 7 Oktober.

Rata-rata 4.000 pengungsi di Gaza tinggal di sekolah tanpa sumber daya untuk menjaga sanitasi yang layak. “Kondisinya sangat menyedihkan, dimana perempuan dan anak-anak tidur di ruang kelas dan laki-laki tidur di luar di tempat terbuka," kata White.

White menegaskan, PBB tidak bisa memberi mereka keamanan, sambil menunjuk pada lebih dari 50 fasilitas UNRWA yang terkena dampak konflik, termasuk lima yang terkena dampak langsung.

“Pada hitungan terakhir, 38 orang terbunuh di tempat penampungan kami. Saya khawatir dengan pertempuran yang terjadi di wilayah utara saat ini, jumlah tersebut akan bertambah secara signifikan,” katanya.

Griffiths mengatakan, 72 anggota staf UNRWA telah terbunuh sejak 7 Oktober. “Saya pikir ini adalah jumlah tertinggi staf PBB yang hilang dalam konflik,” katanya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement