REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintah Afrika Selatan pada Senin (6/11/2023) menarik kembali semua diplomatnya dari Israel. Langkah ini sebagai bentuk keprihatinannya atas situasi di Gaza.
Khumbudzo Ntshavheni, seorang menteri di kantor kepresidenan, mengatakan, semua staf diplomatik di Tel Aviv akan diminta kembali ke Pretoria untuk berkonsultasi. Dia tidak memberikan rincian lebih lanjut.
“Kami sangat prihatin dengan berlanjutnya pembunuhan terhadap anak-anak dan warga sipil tak berdosa di wilayah Palestina dan kami yakin respons yang dilakukan Israel adalah hukuman kolektif,” ujar Menteri Luar Negeri Naledi Pandor dilaporkan Al Arabiya.
“Kami merasa penting untuk menunjukkan keprihatinan Afrika Selatan sambil terus menyerukan penghentian (permusuhan) secara komprehensif," kata Pandor.
Pretoria telah lama menjadi pendukung vokal perjuangan Palestina. Partai yang berkuasa Kongres Nasional Afrika (ANC) sering mengaitkan hal ini dengan perjuangannya melawan apartheid.
Pandor mengatakan, penarikan kembali para diplomat tersebut merupakan praktik normal. Dia menambahkan, para utusan tersebut akan memberikan pengarahan lengkap mengenai situasi di lapangan kepada pemerintah. Nantinya pemerintah akan memutuskan apakah hubungan diplomatik dengan Israel bakal berlanjut atau dihentikan.
Perang Palestina-Israel terbaru dimulai pada 7 Oktober 2023 ketika Hamas memulai Operasi Badai Al Aqsa terhadap Israel. Hamas melancarkan serangan mengejutkan dengan menembakkan ribuan roket dan infiltrasi ke Israel melalui darat, laut, dan udara. Hamas mengatakan, serangan ini merupakan tanggapan keras atas penyerbuan Masjid Al Aqsa di Yerusalem Timur oleh pemukim Yahudi, dan meningkatnya kekerasan pemukim Israel terhadap warga Palestina. Israel dibuat kewalahan dengan operasi mendadak Hamas yang menggunakan taktik jenius.
Menanggapi tindakan Hamas, militer Israel melancarkan Operasi Pedang Besi di Jalur Gaza. Serangan udara Israel menghancurkan rumah warga sipil Gaza, gedung perkantoran, dan fasilitas publik seperti sekolah, rumah sakit, serta tempat ibadah. Ribuan warga sipil Gaza, termasuk anak-anak meninggal dunia.
Respons Israel meluas hingga memotong pasokan air, listrik, bahan bakar, dan makanan ke Gaza, yang semakin memperburuk kondisi kehidupan di wilayah yang terkepung itu sejak 2007. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan di Gaza, pengeboman Israel telah menyebabkan lebih dari 9.000 warga Palestina meninggal dunia, termasuk lebih dari 4000 anak-anak.
Berdasarkan data Euro-Med Human RIghts Monitor, pengeboman Israel di Gaza hingga 31 OKtober 2023 telah membunuh 9.056 orang dengan 3.718 anak-anak, dan 1.929 perempuan. Sementara korban luka mencapai 21.980 dan 1.976 lainnya diyakini masih terjebak di bawah reruntuhan bangunan.
Serangan Israel juga telah menyebabkan 1,4 juta orang mengungsi secara internal. Pengeboman yang terus berlanjut itu telah menyebabkan 32 jurnalis gugur. Tenaga medis juga tidak luput dari serangan Israel. Sebanyak 111 tenaga medis meninggal dunia, dan 136 terluka.
Pengeboman Israel telah menghancurkan sejumlah fasilitas publik. Data Euro-MEd menunjukkan, 44.300 bangunan hancur total dan 13.6100 rusak sebagian. Selain itu, 47 masjid dan 3 gereja hancur. Serangan yang terus membabi buta ini juga menghancurkan 147 sekolah, 513 fasilitas industri, 19 rumah sakit, 39 ambulans, dan 49 klinik. Selain itu, 87 kantor milik media juga ikut hancur.