Kamis 09 Nov 2023 09:43 WIB

Lihat Kondisi Perbankan, CBC Minta OJK Waspada

Risiko likuiditas dan kenaikan biaya operasional bank dinilai semakin memberatkan.

Logo Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Logo Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Direktur Centre for Banking Crisis (CBC), Achmad Deni Daruri, menyebut industri perbankan saat ini sedang tidak baik-baik saja. Risiko likuiditas dan kenaikan biaya operasional dinilai semakin memberatkan. 

Dia pun mengkritik keterangan yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 30 Oktober 2023 (SP 163/GKPB/OJK/X/2023). Menurut dia, hal itu memperlihatkan OJK kurang jeli dengan tugas yang diemban. 

Baca Juga

"Di era suku bunga tinggi, perbankan akan menghadapi risiko likuiditas dan peningkatan biaya operasional. Rasio sharpe square ratio (SSR) adalah metode untuk mengukur kinerja suatu portofolio," kata Deni dalam keterangannya Jakarta, Kamis (9/11/2023).

Rasio SSR, kata dia, berguna untuk mengukur seberapa besar proporsi dana pihak ketiga (DPK) yang harus disimpan oleh bank di Bank Indonesia (BI) sebagai cadangan. Semakin tinggi rasio SSR, maka semakin rendah likuiditas bank yang bersangkutan. 

Artinya, semakin tinggi pula biaya operasional bank tersebut. Bank Indonesia (BI) menetapkan besaran rasio SSR yang berbeda untuk setiap jenis simpanan. "Jika tingkat suku bunga naik, maka DPK akan berpindah dari simpanan berjangka pendek ke jangka panjang yang bunganya lebih tinggi," kata Deni. 

Hal ini, lanjutnya, meningkatkan rasio SSR bank. Karena, simpanan berjangka panjang memiliki rasio SSR lebih tinggi ketimbang simpanan berjangka pendek. 

Untuk itu, bank harus mengelola komposisi DPK agar tidak terlalu terbebani kewajiban SSR. Kinerja sektor keuangan yang jauh dari moncer memperlihatkan OJK kurang jeli akan permasalahan sektor keuangan di Indonesia. 

Hal ini terjadi karena adanya tiga hal penting yang secara struktural justru tidak dijelaskan oleh OJK dengan sistematis. Pertama, meningkatnya risiko sistemik akibat ketidakstabilan ekonomi global, geopolitik, dan bencana alam. 

"Kedua, meningkatnya persaingan antara penyedia jasa keuangan, baik konvensional maupun digital. Ketiga, meningkatnya potensi fraud, cybercrime, dan money laundering dalam sektor jasa keuangan," paparnya. 

Penjabaran rencana OJK untuk mengatasi hal-hal di atas, menurut Deni, tidak jelas alias sumir. Ketiga hal penting tersebut, tidak dijelaskan detil karena OJK tak mengaitkannya dengan empat permasalahan. 

Pertama, lanjutnya, masih terdapat tantangan dalam mengintegrasikan fungsi pengaturan dan pengawasan antara sektor-sektor jasa keuangan. Kedua, masih terdapat potensi konflik kepentingan antara OJK dan pihak-pihak yang diawasi. 

"Ketiga, masih ada keterbatasan dalam hal infrastruktur, teknologi, dan anggaran. Keempat, ada celah hukum dan regulasi yang perlu disempurnakan," kata Deni. 

Jika OJK tidak bisa mengaitkan empat hal itu dengan ketiga hal penting di atas, maka keterangan OJK tentang kinerja OJK selama ini tidak berarti.  

"Inilah sebenarnya kerapuhan dari OJK sendiri. Mengapa kerapuhan ini dapat terjadi? Hal ini terjadi karena adanya konflik kepentingan di dalam OJK itu sendiri," jelas dia.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement