REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Yudisial (KY) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sepakat untuk saling bertukar data dan pengetahuan menyangkut penyelenggaraan Pemilu 2024. KY bisa meminta bantuan KPU guna mendongkrak kapasitas hakim di bidang hukum Pemilu.
Hal ini tertuang pada nota kesepahaman KY-KPU untuk mendukung penyelenggaraan pemilu dalam rangka menjaga dan menegakkan integritas hakim.
Ketua KY Amzulian Rifai menyebut ada enam ruang lingkup yang diatur dalam nota kesepahaman ini, yaitu: pertukaran informasi atau data; koordinasi dan penyelesaian permohonan pemantauan dan pengaduan perkara pemilu; peningkatan kapasitas hakim tentang penyelenggaraan pemilu; sosialisasi; pemanfaatan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia; pemanfaatan sarana dan prasarana.
Amzulian menekankan Pemilu 2024 harus didukung oleh semua elemen, termasuk KY. MoU ini didasarkan pada keinginan untuk terus mengoptimalkan wewenang dan tugas kedua lembaga.
"Nota kesepahaman ini penting karena beberapa hal. Pertama, suksesnya pemilu harusnya jadi peran semua lembaga untuk menyukseskan. Meskipun demokrasi menimbulkan konsekuensi di mana munculnya kesadaran terhadap hak dan kemudian menjadi rawan bersengketa. Kedua, melalui nota kesepahaman, KY ingin bekerja sama KPU untuk memberikan pendidikan bagi para hakim, apalagi aturan pemilu sangat berkembang dengan dinamis," kata Amzulian dalam keterangan pers, Kamis (9/11).
Amzulian menambahkan, bahwa setiap tahun ada 600 hakim yang diberi pelatihan sesuai kebutuhan seperti bidang pajak, tipikor hingga pemilu.
"Ke depan, KY bisa memberikan pelatihan seputar kepemiluan. Hakim akan sulit mengadili bila tidak paham aspek-aspek yang spesifik terkait pemilu," ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya ini.
Sementara itu, Ketua KPU Hasim Asy'ari menekankan nota kesepahaman ini penting untuk pertukaran informasi. Selain itu, ia juga sempat mengungkap berbagai permasalahan yang dihadapi KPU, mulai pelaporan ke Bawaslu, gugatan di PTUN hingga sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk gugatan Partai PRIMA yang dinilai 'salah kamar'.
"Apakah mungkin KY memberikan semacam pendekatan preventif kepada para hakim, salah satu contoh, misalnya, bahwa seharusnya Keputusan KPU merupakan keputusan TUN sehingga pengujiannya di peradilan TUN. Karena apabila diputus di luar kewenangan, tentu akan menjadi problem," ungkap Hasyim.
Sekadar informasi, nota kesepahaman ini berlaku untuk jangka waktu lima tahun dalam rangka menjaga dan menegakkan integritas hakim serta penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota.