REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Teh Indonesia (DTI) menyiapkan rancangan standar teh Indonesia (STI) untuk seluruh rantai pasok. Penyusunan standar ini diharapkan dapat meningkatkan daya saing industri teh Indonesia nasional.
"STI akan dikeluarkan DTI berupa sertifikat setelah dilakukan serangkaian audit oleh lembaga independen," kata Ketua Umum DTI Rahmat Gunadi dalam "Public Hearing Standar Teh Indonesia" di Jakarta, Kamis (30/11/2023).
Rahmat menyatakan standar teh ini untuk menuju keseimbangan pasar yang sekarang ini sudah tidak sehat. Ia menyebut pelaku usaha merasakan ada ketimpangan, terutama manfaat yang diperoleh dari rantai pasok.
Saat ini, Rahmat melanjutkan, harga teh di pasar domestik maupun global terus tertekan sehingga membuat produsen maupun packer terus merugi. Padahal, harga pokok produksi terus meningkat, seperti pupuk, upah tenaga kerja, dan lainnya.
Di lain sisi, menurut Rahmat, mutu teh Indonesia juga semakin menurun akibat harga jual yang tidak seimbang. Hal itu memengaruhi aspek perawatan tanaman dari sisi hulu sehingga mutu merosot.
Menurut Rahmat, periode 2014–2016 merupakan masa terbaik bagi produsen teh Indonesia. Saat itu, harga teh hitam di pasar lelang mencapai 2 dolar AS per kilogram, setelah itu harga teh terus anjlok hingga saat ini.
"Pada awalnya, produsen di hulu yang merasakan tekanan harga, tapi saat ini sektor hilir juga ikut merasakan tekanan harga yang sudah tidak sehat," katanya.
DTI pun menilai perlu dilakukan intervensi berupa Standar Teh Indonesia, sehingga diharapkan mutu dan harga teh Indonesia semakin baik. Sertifikat Teh Indonesia berlaku bagi perusahaan perkebunan besar negara (BUMN), swasta, perkebunan rakyat, pabrik pengolah teh, dan pelaku usaha pemilik merek produk hilir (end user product).
Sertifikat Teh Indonesia diterapkan di seluruh rantai pasok industri teh mulai dari hulu hingga hilir. Setiap pelaku usaha teh bertanggung jawab menerapkan prinsip-prinsip produksi dan usaha yang berkelanjutan.