Rabu 06 Dec 2023 10:39 WIB

Bedanya Boikot Produk Pro Israel di Indonesia dan Luar Negeri

Supermarket Yordania melabeli produk yang diboikot karena pro Israel.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Lida Puspaningtyas
Seorang Caleg PDIP di Padang lakukan aksi tunggal boikot produk pro yahudi.
Foto:

Warga Yordania kompak berhenti membeli beragam produk AS dan Eropa yang menyatakan mendukung Israel secara finansial atau memiliki sikap pro Israel. Starbucks dan McDonald's di ibu kota Yordania Amman sebagian besar kosong.

Lalu di supermarket Shooneez di Amman, terdapat dua jenis label pada setiap produknya. Label pertama untuk memperlihatkan harganya, lalu ada label merah guna memperingatkan pelanggan jika produk tersebut termasuk dalam daftar boikot.

"Waspadalah. Produk-produk ini diboikot. Pilihanmu," tulis label merah tersebut, seperti dilansir The World, Selasa (5/12/2023).

Aksi boikot sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Banyak orang menyatakan boikot bahkan cancelling produk pro Israel. Apindo juga telah menyampaikan bahwa penjualan ritel untuk produk sehari-hari dari merek yang diboikot sudah turun hingga 45 persen.

Namun Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal menilai, setiap negara mempunyai karakteristik berbeda. Semakin banyak suatu negara memakai produk atau merek global dari perusahaan multinasional, maka efek boikotnya tentu semakin besar.

"Apalagi kalau kemudian boikotnya massal. Kenapa dampaknya (boikot) di suatu negara bisa lebih sedikit, itu jika jumlah orang yang bekerja pada perusahaan multinasional tersebut bisa jadi lebih sedikit," jelasnya kepada Republika, Selasa (5/12/2023).

Maka, kata dia, perlu studi lebih lanjut guna melihat perbedaan ini. Studi dimaksud yaitu dengan membandingkan satu negara dengan negara lainnya.

Di Indonesia sendiri, sambungnya, berbagai produk pro Israel yang beredar di media sosial sudah membuat sebagian masyarakat bereaksi. Sebagian masyarakat itu lalu memboikot sejumlah produk di daftar tersebut, sehingga menyebabkan penurunan penjualan.

"Produknya luas. Produk yang diboikot lebih ke produk waralaba yang makanan cepat saji, karena itu suatu kebutuhan tersier, makanan tp makanan berhibur bukan yang dikonsumsi sehari-hari, jadi lebih mudah," jelas Faisal.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement