REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suhu darat dan laut yang terus memanas karena perubahan iklim mungkin akan menyebabkan pemutihan dan kematian karang secara massal pada 2024. Hal ini diungkap oleh ilmuwan dari University of Queensland, Australia, Prof Ove Hoegh-Guldberg.
“Dampak perubahan iklim terhadap terumbu karang telah mencapai fase uncharted territory atau belum dipetakan, dimana kita tidak mengetahui banyak hal dan tidak tahu bagaimana cara menyikapinya. Itu menimbulkan kekhawatiran bahwa kita mungkin berada pada titik kritis,” kata Hoegh-Guldberg seperti dilansir The Guardian, Jumat (15/12/2023).
Dalam sebuah makalah yang diterbitkan di jurnal Science, para peneliti AS dan Australia mengatakan bahwa data historis tentang suhu permukaan laut selama empat dekade, menunjukkan bahwa gelombang panas laut yang ekstrem tahun ini mungkin merupakan pembuka dari peristiwa pemutihan massal dan kematian karang di seluruh Indo-Pasifik pada tahun 2024-2025.
Pemutihan karang massal terjadi ketika karang yang rapuh menjadi stres karena berbagai faktor, termasuk panas, sehingga menyebabkan mereka kehilangan alga coklat dan mengubahnya menjadi putih. Kondisi ini juga diperparah dengan terjadinya El Nino, yang menyebabkan rata-rata suhu permukaan laut global dari Februari hingga Juli 2023 menjadi terpanas yang pernah tercatat. Sejak tahun 1997, setiap kejadian El Nino telah dikaitkan dengan pemutihan karang secara global.
“Kemungkinannya adalah bahwa dalam 12 hingga 24 bulan ke depan, kita akan melihat El Nino yang dikombinasikan dengan suhu laut yang memanas dan memiliki dampak yang sangat besar,” kata Hoegh-Guldberg.
Hoegh-Guldberg menegaskan, pemutihan massal dan kematian karang di Indo-Pasifik dapat menyebab kerusakan jangka panjang pada ekosistem dan jutaan orang di wilayah tropis yang bergantung pada ekosistem tersebut. Namun kemungkinan terburuk itu bisa dicegah atau diminimalkan dengan mengurangi emisi gas rumah kaca.
"Ketika terumbu karang memutih dan mati, habitat tempat banyak spesies terumbu karang yang terkait terancam menghilang, dan dapat menyebabkan keruntuhan ekosistem. Hal ini dapat merusak sebanyak 25 persen keanekaragaman hayati laut," kata dia.
Ia pun mendesak para pembuat kebijakan dan pemimpin dunia untuk bergerak lebih cepat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. "Negara-negara juga harus percaya dengan sains, karena ini adalah masalah teknik berbasis sain. Kita perlu menetapkan parameternya, untuk mendapatkan sistem yang akan mendinginkan planet ini untuk sementara waktu, atau setidaknya tidak meningkat untuk sementara waktu,” kata Hoegh-Guldberg.