Rabu 10 Jan 2024 16:47 WIB

Indonesia Didorong Aktif dalam Sidang Afrika Selatan Vs Israel

Israel bersikap biadab terhadap Palestina.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Erdy Nasrul
Seorang tentara Israel mempersiapkan drone untuk diluncurkan di dekat perbatasan Israel-Gaza, Israel selatan, Selasa, (9/1/2024).
Foto: AP Photo/Leo Correa
Seorang tentara Israel mempersiapkan drone untuk diluncurkan di dekat perbatasan Israel-Gaza, Israel selatan, Selasa, (9/1/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Internasional (ICJ) akan menggelar sidang kasus yang diajukan Afrika Selatan (Afsel) yang menuduh Israel melakukan genosida di Gaza, Palestina. Afsel mendesak penghentian operasi militer ke pemukiman Palestina tersebut.

Menyangkut hal tersebut, Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) menilai secara normatif memang pemerintah Indonesia tak bisa ikut mendorong ICJ untuk mengadili Israel atas kejahatan genosida di Palestina. Sebab Indonesia belum ikut meratifikasi konvensi genosida.

Baca Juga

"Tapi ada upaya lain yang dapat dilakukan, semisal ikut menyampaikan statemen lisan di ICJ dan berdiri tegak mendukung Palestina, dan secara moral memberikan dukungan terhadap Afsel," kata Direktur Riset dan Publikasi Pusham UII Despan Heryansyah kepada Republika, Rabu (10/1/2024).

Despan menilai gugatan Afsel melawan Israel mestinya menjadi cambukan bagi Indonesia untuk segera meratifikasi konvensi genosida. Tujuannya agar pemerintah Indonesia memiliki instrumen yang memadai guna mendukung Palestina. Sehingga pemerintah Indonesia tak cuma berkoar mendukung Palestina saja.

"Kita tidak cukup hanya berteriak-teriak mendukung Palestina, tapi pada sisi lain, skema formal tidak kita adopsi karena ketakutan-ketakutan tertentu," ujar Despan.

Selain itu, Despan menjelaskan ICJ ini hanya akan memberi pendapat dan menguji pendudukannya atas apa yang dilakukan oleh Israel terhadap rakyat dan negara Palestina. Soal genosida, sebenarnya ada upaya hukum yang lebih serius yang dapat dilakukan yaitu membawanya ke International Criminal Court (ICC).

"Tapi problemnya Israel bukan pihak pada ICC, termasuk Amerika. Jadi tidak bisa dibawa kesana," ujar Despan.

Adapun jalan lain bisa menggunakan yurisdiksi universal. Hanya saja, ada hambatan di balik upaya ini. 

"Pelaku harus keluar Israel dan tergantung Negara tertentu mau dan berani menggunakan skema itu atau tidak," ujar Despan.

Diketahui, ICJ yang juga disebut Pengadilan Dunia, merupakan lembaga hukum tertinggi PBB yang didirikan pada tahun 1945 untuk menyelesaikan sengketa antara negara. ICJ berbeda dengan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang juga berbasis di Den Haag. ICC merupakan lembaga antara pemerintah yang berbasis perjanjian dan menangani kejahatan perang yang dituduhkan terhadap individu.  

Lima belas hakim ICJ yang dalam kasus Israel akan ditambah hakim dari masing-masing pihak, biasanya memutuskan sengketa perbatasan. Kini semakin banyak negara yang mengajukan kasus yang menuduh negara lain melanggar kewajiban dalam perjanjian PBB.

Afsel dan Israel penandatangan Konvensi Genosida 1948 yang memberi ICJ yurisdiksi memutuskan sengketa dalam perjanjian tersebut. Semua negara penandatangan konvensi itu tidak hanya dilarang melakukan genosida tapi juga harus mencegah dan melarangnya.

Sayangnya Indonesia belum termasuk negara yang menandatanganinya. Sehingga Indonesia belum memberikan komentar tentang gugatan tersebut. Walau demikian, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi menegaskan Indonesia akan menggunakan semua cara yang dapat dilakukan untuk membela hak-hak rakyat Palestina meski tak merinci cara yang dimaksudnya.

Persidangan atas upaya hukum Afrika Selatan terhadap Israel yang diduga melakukan genosida di Gaza Palestina akan dimulai 11 Januari 2024. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement