REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Jurnalis foto Kantor Berita Anadolu asal Turki, Mustafa Hassouna, mengungkapkan perasaan campur aduk saat sampai di Gaza yang diserang Israel sebelum bantuan pertama datang.
Dia menghadapi dilema antara menjalankan profesi atau menolong korban. "Anda menghadapi situasi seperti ini, melihat orang-orang yang terluka, terpotong-potong, dan hancur, dan ada orang-orang yang masih hidup, meminta bantuan kepada Anda. Saat itulah Anda berada dalam dilema, antara terus bertugas atau membantu mereka tanpa menunggu pertolongan pertama," kata Hassouna.
Dia mempertaruhkan nyawanya demi mengabadikan penderitaan rakyat Palestina yang terkena serangan Israel di Gaza selama tiga bulan. Dia sendiri mengalami kesulitan seperti dialami warga Gaza.
Di tengah bombardemen yang tiada henti, dia kadang dihadapkan kepada dilema, apakah mesti terus menjalankan profesinya atau menolong sesamanya. Tatkala menyaksikan rumah-rumah hancur, dia justru terkenang istri dan anak-anaknya sendiri.
Apa yang membuatnya tetap tegar menjalankan profesinya adalah keinginannya untuk mengungkapkan peristiwa yang terjadi di Gaza agar diketahui oleh seluruh dunia, dengan segala kerumitannya. Hassouna mengungkapkan kondisi kerja jurnalis di Gaza dalam diskusi yang diadakan dalam sebuah lokakarya Anadolu pada 10 Januari untuk memperingati Hari Pers di sana.
Hassouna mengungkapkan perang di Gaza sangat berbeda dengan lima perang lain yang pernah diliputnya sejak 2012.
“Sebagai wartawan, saya juga bisa mengatakan dari sudut pandang profesional Anda menghadapi tentara Israel, dan agresivitas tentara Israel tidak ada batasnya. Anda menghadapi tentara dan negara itu. Tak adanya batasan dalam agresi ini membuat Anda luar biasa cemas, sekalipun Anda wartawan," ujarnya.
"Rekan-rekan saya banyak yang menjadi sasaran. Beban akibat situasi ini semakin bertambah karena Anda bisa menjadi sasaran kapan pun," kata dia.
Hassouna menyatakan menjadi jurnalis yang bertugas di Gaza sangat berbeda dengan kondisi ketika bertugas di negara lain. Menurut Hassouna, banyak tantangan berat yang harus dihadapi saat berpindah dari satu masalah ke masalah lainnya. Dia mengungkapkan masalahnya bukan finansial karena kalaupun ada uang, tetap tak bisa digunakan.
"Kadangkala tak ada bahan bakar, tak ada kendaraan. Seringkali, tidak ada listrik atau internet. Ketika tiada listrik dan internet, kami harus fokus ke tempat di mana terdengar suara," kata dia.
"Kadang-kadang, kami benar-benar kehilangan kontak dan tak tahu apa yang terjadi. Kami harus mendaki bukit tinggi atau gedung-gedung tinggi guna melihat titik kepulan asap dan berusaha pindah ke sana," kata dia.
Hassouna lalu membeberkan kesulitan yang dihadapinya saat harus mengirimkan berita karena tidak ada internet dan listrik. Wartawan bahkan harus mempertaruhkan nyawa pada saat-saat tertentu.
"Kami kadang-kadang harus menggunakan kartu SIM Israel agar berita bisa terkirim. Namun, kartu SIM Israel tak berfungsi di Gaza," katanya.
"Kami pun mesti pergi ke perbatasan, padahal daerah perbatasan adalah zona paling berbahaya dan kami bisa menjadi sasaran tembak tentara Israel kapan saja," kata dia.
Hassouna menambahkan ada kemungkinan wartawan menjadi sasaran saat terjadi baku tembak. Tentara Israel, menurut Hassouna, mendirikan pos-pos pemeriksaan di berbagi titik yang memisahkan bagian utara Gaza dari bagian selatannya. Mereka juga menempatkan para penembak jitu, tentara dan tank di pos-pos itu.
"Israel, khususnya di Gaza, tak hanya merampas hak dan hak istimewa yang mungkin dimiliki seorang wartawan, tetapi juga hak asasi manusia yang paling mendasar."
"Sebagai jurnalis, kami tak mungkin melakukan perjalanan antarkota dan antarwilayah dalam kondisi biasa-biasa. Kami bahkan tidak bisa berpindah-pindah dari Jalur Gaza ke Tepi Barat. Kami terjebak di Jalur Gaza," kata Hassouna.