REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Calon presiden (capres) nomor urut 2, Prabowo Subianto mendukung usulan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal pemberian sanksi berat kepada pejabat yang tak jujur dalam membuat Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
"Saya sangat dukung LHKPN untuk ditegakkan dan diberi sanksi manakala LHKPN itu tidak jujur. Semua kekayaan harus dilaporkan," kata Prabowo di hadapan pimpinan KPK dalam acara Paku Integritas di Gedung Juang KPK, Jakarta Selatan, Rabu (17/1/2024) malam.
Dalam kesempatan itu, Prabowo juga mengutarakan perlunya pendekatan sistemik dalam memberantas korupsi di Tanah Air. Pendekatan tersebut diwujudkan dengan meningkatkan gaji pejabat negara, terutama mereka yang mengelola anggaran negara dalam jumlah besar, terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas hidup, para pejabat itu diyakini tidak lagi berniat untuk melakukan korupsi. Ketika peningkatan kesejahteraan sudah dilakukan, lanjut dia, maka penindakan harus dilakukan sekeras-kerasnya terhadap pejabat yang masih melakukan korupsi. Selain penindakan, bisa diterapkan pula sistem pembuktian terbalik kepada para pejabat.
"Bila perlu pembuktian terbalik. Tidak perlu kita tunggu delik pengaduan, tetapi pejabat yang mau menjabat jabatan penting harus transparan dan bisa dilihat," kata Ketua Umum Partai Gerindra itu.
Secara garis besar, sistem pembuktian terbalik berarti seseorang harus membuktikan bahwa harta yang dimilikinya berasal dari sumber-sumber yang sah. Apabila tidak bisa membuktikan, maka si pejabat itu patut diduga telah melakukan korupsi.
Sebelum Prabowo berbicara, Ketua KPK Nawawi Pomolango menyampaikan empat hambatan yang dihadapi dalam memberantas korupsi. Salah satunya soal LHKPN.
Nawawi menjelaskan, UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme adalah landasan KPK memeriksa LHKPN. Namun, beleid tersebut tidak mengatur sanksi yang tegas kepada pejabat yang LHKPN-nya tidak mencantumkan seluruh hartanya.
"Akibatnya, saat ini kepatuhan penyampaian LHKPN secara lengkap diabaikan oleh sekitar 10 ribu dari 371 ribu penyelenggara negara," kata Nawawi.
Bahkan, lanjut dia, pejabat yang LHKPN-nya tidak lengkap ternyata tetap diangkat untuk mengisi jabatan "pembantu presiden ataupun jabatan lainnya". Karena itu, Nawawi meminta para capres dan cawapres yang nantinya terpilih untuk memperkuat peran LHKPN.
"KPK meminta komitmen nyata dari calon presiden dan wakil presiden ketika nanti terpilih untuk menguatkan peran LHKPN dengan pemberian sanksi berupa pemberhentian dari jabatan publik pada pembantu presiden atau pimpinan instansi yang lembaganya tidak patuh terhadap kewajiban penyampaian LHKPN secara lengkap," ujarnya.
Lebih lanjut, Nawawi meminta presiden dan wakil presiden terpilih nantinya untuk menerapkan kebijakan pemberhentian terhadap pejabat yang ketahuan menyembunyikan hartanya dari LHKPN. Dia juga meminta agar hasil pemeriksaan LHKPN yang dilakukan KPK dijadikan rujukan untuk mempromosikan atau mengangkat pejabat publik.