REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Profesor Eliav Lieblich geram terhadap sejumlah pejabat pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu karena sembrono dalam berujar sehingga Afrika Selatan mendapatkan pintu masuk untuk memperkarakan Israel di Mahkamah Internasional.
Profesor ilmu hukum pada Universitas Tel Aviv itu kesal karena Netanyahu dan kabinetnya, serta sejumlah pejabat Israel, tak bisa menjaga mulutnya. "Mengapa tak ada yang mengantisipasi (kasus yang diajukan Afrika Selatan) ini, dan mengapa pemerintahan berlaku tak bertanggung jawab dan sembrono," kata Lieblich seperti dilaporkan Times of Israel, 10 Januari lalu.
Ucapan para pejabat Israel itu memang digunakan para pengacara Afrika Selatan dalam menggugat Israel telah melakukan genosida di Jalur Gaza. Pemerintah Israel tak menyangka ada negara yang bertindak sejauh seperti dilakukan Afrika Selatan. Dunia juga sama kagetnya, termasuk Barat yang kemudian mencibir langkah Afrika Selatan itu.
Sebaliknya, negara-negara non Barat, termasuk Indonesia yang tak menandatangani Konvensi Genosida, menyambut positif langkah Afrika Selatan itu. Afrika Selatan melayangkan perkara genosida Gaza oleh Israel, kepada Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, pada 29 Desember 2023.
Konvensi Genosida adalah pakta internasional yang menyatakan genosida sebagai kejahatan. Konvensi ini mengikat negara-negara yang menandatanganinya untuk menegakkan pakta anti-genosida. Konvensi ini diadopsi Majelis Umum PBB pada 9 Desember 1948, tapi mulai efektif 12 Januari 1951.
Sampai 2022, sudah 152 negara menandatangani konvensi ini, termasuk Afrika Selatan dan Israel. Tahap awal kasus gugatan Afrika Selatan sudah selesai ketika baik pihak Afrika Selatan maupun pihak Israel sama-sama menyampaikan pendapat lisan mereka, masing-masing pada 11 dan 12 Januari 2024.
Tudingan Afrika Selatan berpangkal pada lima hal, yakni pembunuhan massal warga Palestina, penderitaan mental dan fisik, pemindahan paksa dan blokade bantuan, penghancuran total sistem layanan kesehatan Gaza, dan upaya mengalangi petugas medis dalam menyelamatkan nyawa manusia. Israel menampik semua tudingan itu. Mereka menyebut tuduhan Afrika Selatan itu tak berdasar dan merupakan bentuk pencemaran nama baik.
Israel berdalih, serangan di Gaza adalah haknya sebagai negara berdaulat demi membela diri dari serangan asing (Hamas-red). Israel juga mempertanyakan yurisdiksi Mahkamah Internasional dalam kasus ini.
Niat Genosida
Israel juga menyangkal tudingan memiliki "niat melakukan genosida". Sebaliknya, mereka berdalih sudah berusaha keras meminimalkan jatuhnya korban sipil. "Memiliki niat" untuk melakukan genosida adalah aspek yang diburu oleh Afrika Selatan, karena Konvensi Genosida menyatakan "keterlibatan, upaya, atau hasutan" untuk melakukan genosida" adalah juga praktik genosida.
Langkah Afrika Selatan dalam memperkarakan Israel di Mahkamah Internasional adalah bentuk kekesalan dunia terhadap Israel. Sudah banyak resolusi PBB, perundingan internasional, dan gerakan massa di seluruh dunia, tapi tak membuat Israel berubah di Gaza.
Sebaliknya, bombardemen di Gaza kian sengit dan tak membedakan antara mana sipil dan mana bukan, sampai rumah sakit pun digempur habis-habisan. Korban jiwa pun makin banyak. Data terakhir menunjukkan sudah 24.500 jiwa tewas di Gaza, yang 70 persen di antaranya perempuan dan anak-anak.
Afrika Selatan pun berusaha mencari pintu lain dalam menghentikan Israel, dengan menggugat negara itu di Mahkamah Internasional. Namun, meminjam analisis Profesor David Kaye dari Universitas California dalam laman The Atlantic pada 19 Januari, bagian tersulit dalam kasus genosida adalah bukan membuktikan adanya aksi kekerasan, melainkan adanya niat menghancurkan sebuah kelompok bangsa, ras, agama atau etnik, baik secara keseluruhan maupun sebagian.
Afrika Selatan pun fokus mengeksploitasi bagian ini, guna meyakinkan Mahkamah Internasional agar mengadili Israel. Saat menyampaikan pendapat lisan pada 11 Januari, Afrika Selatan mengajukan sejumlah pernyataan para pejabat Israel, mulai Netanyahu, sampai Menteri Pertahanan Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir, yang semuanya merupakan penyusun kebijakan perang di Gaza.