REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah terus menggaungkan bangga produk lokal dengan mendorong pertumbuhan UMKM-UMKM Indonesia melalui berbagai program. UMKM yang merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia ini diharapkan punya produk sendiri sehingga memajukan industri dalam negeri juga.
Jumlah UMKM memang terus bertambah, didukung oleh mudahnya akses pasar melalui daring. Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto mengatakan, transformasi digital menjadi keharusan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk dapat menyambut peluang besar struktur demografi Indonesia yang didominasi penduduk usia muda.
Eko menyampaikan, lebih dari 50 persen penduduk Indonesia saat ini merupakan generasi milenial dengan 25,87 persen dan Gen Z dengan 27,94 persen.
"Kalau pelaku UMKM tidak go digital akan ketinggalan. Lebih dari 50 persen penduduk Indonesia yang didominasi usia muda itu melek digital," ujar Eko dalam diskusi publik Indef bertajuk "Transformasi UMKM Menggenggam Peluang Digital di 2024" di Jakarta, Kamis (25/1/2024).
Oleh karenanya, Eko mengatakan sistem pembayaran nontunai saat ini menjadi sebuah keharusan dalam memenuhi kebutuhan konsumen. Eko menilai, konsumen akan dengan mudah beralih jika UMKM tidak menyediakan sistem pembayaran nontunai.
"Kalau beli ke UMKM dengan pembayaran nontunai seperti QRIS itu sekarang hal yang lumrah, bahkan di level warung biasa saja ada, kalau tidak sediakan itu, pembeli kita akan pindah ke yang lain," ucap Eko.
Eko juga mendorong pemerintah proaktif memberikan informasi tentang tren perilaku dan selera konsumen di lokapasar. Hal ini bertujuan para UMKM bisa lebih adaptif dengan perkembangan lokapasar.
"Pemerintah harus memberikan pendampingan dan pelatihan bagi UMKM, termasuk strategi pricing untuk UMKM yang sudah go digital di lokapasar," sambung Eko.
Eko memaparkan, 98,2 persen dari 22,8 ribu toko di lokapasar Indonesia memang didominasi UMKM. Hanya 1,8 persen lainnya yang merupakan merek besar atau toko yang berasal dari luar negeri.
Namun begitu, Eko mengatakan hanya 1.446 toko atau 6,28 persen toko tersebut yang merupakan UMKM produksi. Eko mengatakan 21.495 toko merupakan UMKM penjual.
"Sebenarnya sudah didominasi UMKM, cuma tantangan adalah UMKM yang jualan itu UMKM penjual saja, bukan UMKM produksi," lanjut Eko.
Eko menilai pemerintah juga harus menyediakan dukungan internet ke luar Pulau Jawa, termasuk ke desa-desa. Hal ini bertujuan mendorong penetrasi pelaku UMKM di luar Jawa untuk bisa mengakses lokapasar.
"97,3 persen UMKM di lokapasar berada di Pulau Jawa yang masih terlalu mendominasi. Tantangan untuk luar Pulau Jawa karena infrastruktur digital belum sebagus di Pulau Jawa," ucap Eko.
Berdasarkan data, lanjut Eko, produk nonUMKM di lokapasar masih jauh lebih populer ketimbang produk UMKM. Hal ini menyebabkan produk-produk nonUMKM muncul di halaman awal lokapasar. Eko menyebutkan hal ini berdampak pada peluang penjualan yang lebih besar produk nonUMKM daripada produk UMKM.
"Tantangan lain itu soal harga, karena harga produk UMKM lokal tidak sesuai dengan harga yang diminati pengguna lokapasar yaitu di atas Rp 100 ribu," ujar Eko.
Eko menyampaikan rentang harga produk di atas Rp 100 ribu memiliki persentase produk terjual lebih tinggi, sedangkan rata-rata harga jual produk UMKM di lokapasar berada di bawah Rp 100 ribu.
"UMKM mungkin juga terlalu rendah pasang harganya, terkadang ini bikin curiga konsumen sehingga ragu untuk membeli," kata Eko.