Selasa 30 Jan 2024 11:35 WIB

ITB Gandeng Pinjol Bayar UKT Mahasiswa, Komisi X: Revisi Aturan PTNBH

Otoritas pengelolaan sumber pendanaan jangan sampai memicu komersialisasi pendidikan.

Seratus lebih mahasiswa ITB demonstrasi menolak penggunaan aplikasi pinjol untuk biaya kuliah mahasiswa yang kesulitan membayar UKT, di depan Gedung Rektorat ITB, Kota Bandung, Senin (29/1/2024).
Foto: Republika/M Fauzi Ridwan
Seratus lebih mahasiswa ITB demonstrasi menolak penggunaan aplikasi pinjol untuk biaya kuliah mahasiswa yang kesulitan membayar UKT, di depan Gedung Rektorat ITB, Kota Bandung, Senin (29/1/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langkah Institut Teknologi Bandung (ITB) menggandeng layanan pinjaman online (pinjol) untuk mencicil biaya kuliah tunggal (UKT) mahasiswa menuai kritik dari publik. Fenomena yang terjadi ini dinilai menunjukkan masih karut-marutnya pengelolaan pendidikan tinggi negeri di Tanah Air.

Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda mengatakan, kajian untuk mempertimbangkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH), utamanya terkait otonomi pengelolaan pendanaan, mendesak dilakukan. Menurutnya, jangan sampai otonomi pengelolaan sumber pendanaan penyelenggaraan pendidikan ini bermuara pada munculnya komersialisasi pendidikan yang memberatkan mahasiswa. 

Baca Juga

“Kami tentu tidak ingin otoritas pengelolaan sumber pendanaan ini justru memicu komersialisasi pendidikan entah itu melalui UKT atau seleksi masuk mahasiswa baru melalui jalur mandiri,” kata Huda dalam keterangannya, Selasa (30/1/2024). 

Huda mengatakan, apa yang terjadi di ITB menunjukkan adanya persoalaan terkait pengelolaan dalam penyelenggaraan pendidikan di kampus negeri. Menggandeng pinjol untuk skema pembayaran UKT dinilai sebagai jalan pintas yang menjerat mahasiswa dalam lingkaran utang dan sangat riskan. 

“Kami menilai skema cicilan UKT dengan Pinjol ini merupakan short cut yang merugikan mahasiswa. Bagi mahasiswa yang benar tidak mampu mereka terpaksa mengambil opsi ini, bagi mahasiswa nakal, opsi ini bisa disalahgunakan untuk kepentingan lain. Ujungnya mahasiswa dan wali mahasiswa yang dirugikan,” ujar Huda.

Huda mengatakan, sebagai PTNBH, ITB memang mempunyai hak untuk melakukan kerja sama dengan pihak ketiga dalam proses penyelenggaraan pendidikan. Kendati demikian kerja sama tersebut harusnya tidak bolah membuka potensi kerugian atau beban terutama bagi kalangan mahasiswa. 

“Bekerja sama dengan pinjol meski tidak ada jaminan maupun DP tetapi pasti ada bunga. Kami mendengar jika dana pinjaman senilai Rp 12,5 juta dengan tenor selama 12 bulan, harus dicicil mahasiswa Rp 1.291.667 per bulan atau total Rp 15.500.000 setahun,” ujarnya. 

Sebagai PTNBH, lanjut Huda ITB juga berhak menentukan besaran UKT bagi mahasiswa secara mandiri. Kendati demikian dalam Pasal 65 ayat 4 UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi disebutkan jika penyelenggaraan fungsi pendidikan di PTNBH harus tetap terjangkau masyarakat.

“Saat ini sebagian PTNBH masih mengandalkan biaya pendidikan dari mahasiswa sebagai sumber utama pendanaan. Padahal mereka telah diberikan otoritas yang relatif luas mengali sumber pendanaan di luar APBN,” katanya. 

Huda mengatakan, saat ini sebagian besar mahasiswa merasakan jika biaya kuliah di perguruan tinggi negeri masih tergolong berat. Kondisi ini membuat mereka tertekan secara mental. “Ada survei dari project multatuli di Yogyakarta yang menunjukkan jika mayoritas responden atau sebesar 74,22 persen merasa jika biaya kuliah memberatkan. Situasi ini harus menjadi perhatian dari pemerintah sehingga bisa muncul langkah-langkah terobosan untuk mengatasinya,” ujarnya. 

Saat ini, kata Huda, Kemendikbudristek perlu melakukan review terkait kerja sama sejumlah PTN, khususnya PTNBH dengan layanan pinjol. Jika memang ternyata merugikan dan memberatkan mahasiswa, maka Kemendikbudristek bisa merekomendasikan PTNBH untuk meninjau ulang kebijakan tersebut. 

“Kami mendorong juga ada kajian utuk skema baru untuk meringankan beban mahasiswa yang kesulitan membayar UKT. Beberapa waktu lalu saya menolak penghentian alokasi APBN untuk dana abadi pendidikan sebesar Rp 20 triliun per tahun. Dalam pandangan kami dana abadi pendidikan tetap harus diperbesar sehingga manfaatnya bisa digunakan salah satunya untuk meringankan UKT mahasiswa selain skema  yang saat ini sudah ada,” ujar Huda.

Sebelumnya, jagad media sosial X dihebohkan oleh postingan akun ITBfess berisi tentang kampus ITB yang menawarkan mahasiswa membayar UKT menggunakan pinjol dan berbunga. Sontak postingan tersebut direspons negatif oleh kalangan warganet.

Seperti dilihat pada postingan tersebut, terdapat foto selembaran berisi informasi tentang program cicilan kuliah bulanan di ITB. Program itu bekerja sama dengan pihak ketiga. Disebutkan di selembaran tersebut, pihak ketiga merupakan mitra resmi ITB. Selain itu terdapat program cicilan enam bulan hingga 12 bulan. Proses pengajuan tanpa down payment (DP) dan tanpa jaminan apapun.

Ketua Kabinet Keluarga Mahasiswa (KM) ITB Muhammad Yogi Syahputra saat aksi di depan Gedung Rektorat ITB meminta pihak rektorat untuk menghapus program pinjol berbunga. Ia meminta agar kampus memaksimalkan program beasiswa dan keringanan atau cicilan UKT yang tidak memberatkan mahasiswa. "Menghapus opsi penyelenggaraan dana berupa pinjaman online berbunga," ujar dia.

photo
Kampus ITB bekerja sama dengan pihak ketiga menawarkan program cicilan kuliah bulanan lewat aplikasi pinjol. - (Tangkapan Layar)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement