Selasa 06 Feb 2024 07:29 WIB

Ketum IDI Kritik Gagasan Prabowo yang Ingin Buka 300 Fakultas Kedokteran

Kita dihadapkan dengan, bahasa kami mohon maaf, akan muncul pengangguran intelektual.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Erik Purnama Putra
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Muhammad Adib Khumaidi.
Foto: Republika/Mabruroh
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Muhammad Adib Khumaidi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Besar Ikatan Dokter Indoensia (PB IDI) mengkritik gagasan calon presiden (capres) nomor urut 2, Prabowo Subianto, yang ingin mendirikan 300 fakultas kedokteran (FK) baru di Indonesia. Ketua Umum PB IDI, Muhammad Adib Khumaidi menilai, ide Prabowo itu amat berlebihan.

Jika itu dilakukan, sambung dia, dikhawatirkan akan terjadi overload dokter umum dan muncul pengangguran intelektual profesional. Menurut dia, saat ini, yang lebih dibutuhkan masyarakat adalah dokter spesialis.

Baca Juga

"Jadi 300 fakultas kedokteran itu sangat-sangat berlebihan," ucap Adib alam konferensi pers menyikapi hasil debat kelima capres di Jakarta, Senin (5/2/2024). Menurut dia, yang menjadi masalah dalam pendidikan kedokteran saat ini adalah pembiayaan pendidikan yang masih mahal.

Negara, kata dia, semestinya bisa hadir mengintervensi persoalan pembiayaan tersebut. Jika negara tidak hadir dengan aturan dan menghitung kebutuhan yang semestinya, menurut Adid, dikhawatirkan lima tahun ke depan akan terjadi overload tenaga dokter umum.

"Nah kalau sekarang kemudian dibuka 300 FK, yang itu kemudian tidak diikuti dalam sebuah aturan, dan tidak memberi hitungan terkait dengan kebutuhan, maka kita lima tahun lagi akan dihadapkan overload. Kita dihadapkan dengan, bahasa kami mohon maaf, akan muncul pengangguran intelektual profesional," tutur Adib.

Dia menerangkan, analisis satu banding 1.000 menurut WHO dilihat dari aspek kebutuhan. Sayangnya, realisasi saat ini di lapangan belum sesuai dengan pembiayan kapitasi dokter yang masih berdasarkan angka satu banding 2.500. Hal itu dapat berdampak pada pendidikan yang mahal, tapi tidak bisa bekerja akibat tak ada tempat pekerjaan.

"Jadi ini pun nanti akhirnya berdampak juga pada saat dia sekolah, pendidikannya itu harus mahal. Dan kemudian dia bekerja, tidak ada tempat pekerjaan, maka ini sangat disayangkan," kata Adib.

Pihaknya melihat, penyelesaian masalah sumber daya manusia (SDM) di bidang kedokteran harus dimulai dari aspek jumlah kebutuhan dokter spesialis. Pasalnya, yang sebenarnya dibutuhkan saat ini bukanlah dokter umum, melainkan lebih banyak dokter spesialis. Dengan membuka 300 FK baru, dia menilai, hal itu tak menjawab kebutuhan di lapangan.

"Jadi pembukaan 300 FK itu akan mencetak dokter umum, padahal yang kita butuhkan adalah dokter spesialis. Yang harus kita tingkatkan adalah pembukaan program studi dokter spesialis sesuai dengan kebutuhan yang dibutuhkan oleh per wilayah," jelas Adib.

Untuk itu, kata dia, pemerintah harus melihat prioritas permasalahan kesehatan yang ada di setiap wilayah untuk mencetak dokter spesialis yang dibutuhkan di sana. Salah satu langkah pemerataan tenaga dokter spesialis adalah dengan mengambil dokter umum yang merupakan putra-putri daerah untuk diberikan beasiswa atau program afirmasi untuk pendidikan spesialis.

"Yang itu nanti mereka akan kembali ke daerah menjadi dokter spesialis yang akan bekerja di daerahnya. Nah itu yang harus ditingkatkan, bukan kemudian akhirnya kita membuat 300 FK. Ini yang perlu untuk kita perdalam terkait dengan kebutuhan tadi, sehingga kita benar-benar akhirnya ada link and match antara need dan demand," terang Adib.

Lebih penting hidup bersih...

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement